Dewasa ini,
perkembangan ilmu pengetahuan sudah semakin pesat. Hal ini juga dapat menjadi indicator
bahwa pola kehidupan sosial masyarakat sudah semakin berkembang dan masalah
yang harus diatasi juga semakin kompleks. Ilmu administrasi publik yang pada dasarnya
merupakan disiplin ilmu yang memiliki tujuan to protect, to regulate, and
to service the citizen tentu saja juga ikut berkembang sejalan dengan
perubahan yang ada di masyarakat.
Menurut Chandler & Plano dalam Pasalong
(2008:7), “Administrasi publik merupakan seni dan ilmu (art and science) yang ditujukan untuk mengatur “Ipublic affairs” dan melaksanakan
berbagai tugas yang ditentukan”. Administrasi publik sebagai disiplin ilmu bertujuan
memecahkan masalah publik melalui perbaikan-perbaikan terutama dibidang
organisasi, sumber daya manusia dan keuangan.
Berbagai macam
paradigma dan konsep telah dimiliki oleh ilmu administrasi publik yang tentu
saja digunakan sesuai dengan perkembangan zaman.
Nicholas Henry dalam
Pasalong (2008:28-30) mengemukakan lima paradigama administrasi publik, yaitu: Paradigma pertama, prinsip-prinsip
administrasi negara (1927-1937), Lokus dari administrasi negara tidak merupakan
masalah yang dipentingkan fokusnya yaitu : “prinsip-prinsip administrasi”
dipandang dapat berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan setiap
lingkungan sosial budaya; Paradigma
kedua, paradigma dikotomi antara politik dan administrasi (1900-1926),
Fokus dari ilmu administrasi negara terbatas pada masalah-masalah organisasi,
kepegawaian dan penyusunan anggaran dalam birokrasi pemerintahan. Sedangkan
masalah-masalah pemerintahan, politik dan kebijaksanaan merupakan substansi
ilmu politik; Paradigma ketiga, Administrasi
Negara sebagai Ilmu Politik (1950-1970). Fase paradigma ini menetapkan kembali
hubungan konseptual antara administrasi negara dan ilmu politik; Paradigma keempat, Administrasi Negara
sebagai Ilmu Administrasi (1954-1970), pada fase ini ilmu administrasi hanya
memberikan fokus, tetapi tidak pada locusnya; Paradigma kelima, Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi
Negara, telah berkembang menjadi ilmu administrasi negara yaitu meramabah ke
teori organisasi, ilmu kebijakan (policy science) dan ekonomi politik.
Paradigma-paradigma
tersebut digunakan untuk menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, mulai dari
paradigma dikotomi politik dan administrasi, prinsip-prinsip administrasi,
administrasi publik sebagai ilmu politik, administrasi publik sebagai ilmu
administrasi, administrasi publik sebagai ilmu administrasi publik,
administrasi publik sebagai administrasi pembangunan, reformasi administrasi, New
Public Management, hingga Good Governance.
Konsep governance
mulai berkembang pada awal 1990-an ditandai dengan adanya cara pandang (point
of view) yang baru terhadap peran pemerintah (government) dalam
menjalankan sistem pemerintahan. Pandangan ini muncul karena peran pemerintah
dinilai terlalu besar dan terlalu berkuasa, sehingga masyarakat tidak memiliki
keleluasaan dan ruang untuk berkembang. Pemerintah telah merasa menjadi
institusi yang paling mengetahui dan mengerti apa yang diinginkan oleh
masyarakat, sehingga banyak kebijakan yang dibuat tanpa diwacanakan terlebih
dahulu kepada masyarakat atau tanpa merasa perlu mendengar aspirasi dari
masyarakat. Hal ini membuat kebijakan bersifat top down dan masyarakat
hanya bisa tinggal menerima saja, tindakan yang seperti ini justru menjadikan
dukungan kepada pemerintah dari masyarakat menurun.
Istilah governance
dalam bahasa Inggris berarti “the act, fact, manner of governing”,
yang berarti adalah suatu proses kegiatan. Kooiman dalam Sedarmayanti (2004:2)
mengemukakan bahwa governance ialah”…serangkaian proses interaksi
sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas
kepentingan-kepentingan tersebut”. Pada dasarnya, istilah governance
bukan hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan saja, melainkan juga
mengacu kepada arti pengurusan, pengarahan, pengelolaan, dan pembinaan
penyelenggaraan. Dan berdasarkan dari apa yang diungkapkan oleh Kooiman di
atas, dapat dipahami bahwa keterlibatan masyarakat dalam sistem pemerintahan
merupakan semangat yang terdapat dalam konsep good governance.
Lembaga Administrasi Negara (LAN)
mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada 2 hal, yaitu
pencapaian tujuan nasional negara dan pembentukan pemerintahan yang berfungsi
secara efektif serta efisien dalam rangka mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama
mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen
konstituennya seperti legitimacy, accountability securing of human rights,
autonomy and devolution of power and assurance. Orientasi kedua,
tergantung pada sejauh mana pemerintah memiliki kompetensi dan sejauh mana
struktur serta mekanisme politik dan administrasi berfungsi secara efektif dan
efisien. LAN juga menyimpulkan bahwa wujud good governance adalah
penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif, serta solid dan
bertanggung jawab, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di
antara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat.
Konsep reinventing
government pada dasarnya merupakan representasi dari paradigma New
Public Management. Ciri-ciri dari NPM yaitu :
•
Menggunakan sektor ‘private’ dan pendekatan
bisnis dalam sektor publik (run government like a business).
•
Penerapan prinsip “good governance”.
•
Kegiatan-kegiatan yg tidak bisa dilakukan secara
efisien dan efektif oleh pemerintah ditangani oleh sektor swasta.
•
Dalam sistem managemen dilakukan sistem pelayanan
sipil, yaitu manajer diperkenankan menegosiasikan kontrak mereka dengan para
pekerja.
•
Fokus sistem anggaran pada kinerja dan hasil.
•
Manajemen berorientasi pada hasil (managing for
result)
•
Menggagas konsep
“citizens charter”.
•
Mengenalkan konsep Reinventing Government.
•
Menciptakan pemerintahan “works better
& costs less
Di mana dalam New
Public Management (NPM), negara dilihat sebagai perusahaan jasa modern
yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak dalam
bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun tetap dengan kewajiban
memberikan layanan dan kualitas yang maksimal. Segala hal yang tidak bermanfaat
bagi masyarakat dianggap sebagai pemborosan dalam paradigma NPM. Warga pun
tidak dilihat sebagai abdi lagi, tetapi sebagai pelanggan layanan publik yang
karena pajak yang dibayarkan memiliki hak atas layanan dalam jumlah tertentu
dan kualitas tertentu pula. Prinsip dalam NPM berbunyi, “dekat dengan warga,
memiliki mentalitas melayani, dan luwes serta inovatif dalam memberikan layanan
jasa kepada warga”
Tiga sektor dalam “good governance”
yaitu negara/pemerintah, privat, dan masyarakat memiliki pembagian hak dan
tanggung jawab bersama yang jelas yang dapat diatur dalam berbagai jenis kontrak
sosial, seperti peraturan dan UU. Kontrak-kontrak ini merupakan hasil produk
pengaturan bersama yang melibatkan ketiga sektor tersebut. Pemerintah berperan
sebagai pembuat regulasi dan mengamankan hasil-hasil regulasi berdasarkan
kesepakatan bersama ketiga sektor tadi. Masyarakat memiliki hak untuk mengakses
informasi dari pemerintah dalam rangka mengawasi kinerja lembaga pemerintahan
dan mitra kerjanya yang dijamin oleh sistem legal-formal. Sistem ini dapat
memberi implikasi yuridis kepada lembaga-lembaga yang melalaikan fungsinya
untuk mewujudkan transparansi informasi dan akuntabilitas publik. Keterlibatan
masyarakat secara langsung dalam mengawasi kinerja pemerintah merupakan syarat
terlaksananya “good governance”.
DAFTAR PUSTAKA
Pasalong, Harbani, (2008), Teori Administrasi Publik, Penerbit
Alafabeta, Bandung.
Utomo, Warsito,
(2005), Administrasi Publik Baru
Indonesia; Perubahan paradigma dari
Administrasi Negara ke Administrasi Publik, Penerbit Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Wibawa, Samodra, (2005),
Refromasi Administrasi, Penerbit
Graha Media, Yogjakarta.
www.irend.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar