Kamis, 27 Februari 2014

ANALISA DESENTRALISASI FISKAL


 Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia, sudah diatur dalam RI No. 5 tahun 1975 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Dalam prakteknya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama pemerintahan orde baru belum dapat mengurangi ketimpangan vertikal dan horisontal, yang ditunjukkan dengan tingginya derajat sentralisasi fiskal dan besarnya ketimpangan antardaerah dan wilayah Praktek internasional desentralisasi fiskal baru dijalankan pada 1 Januari 2001 berdasarkan UU RI No. 25 tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU RI No. 33 tahun 2000 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ialah “Money Follows Functions”, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah.
Berdasarkan pasal 5 UU No. 33 tahun 2000 sumber-sumber penerimaan daerah adalah pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Dana Perimbangan keuangan Pusat-Daerah (PKPD) merupakan mekanisme transfer pemerintah pusat-daerah terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam (DBHP dan SDA), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana pembiayaan daerah berasal dari Sisa Lebih Anggaran daerah (SAL), pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan privatisasi kekayaan daerah yang dipisahkan. Besarnya PAD dan pembiayaan daerah dapat diklasifikasikan sebagai dana non PKPD, karena berasal dari pengelolaan fiskal daerah. Khusus pinjaman daerah pemerintah pusat masih khawatir dengan kondisi utang negara, sehingga belum mengijinkan penerbitan utang daerah.
Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD-nya, sehingga daerah menjadi benar-benar otonom. Selama tahun 2001 – 2003 peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan total pengeluaran APBD semakin menurun. Menurunnya peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan pengeluaran total dalam APBD mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan peranan mekanisme transfer dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan. Tujuan utama pemberian dana perimbangan dalam kerangka otonomi daerah untuk pemerataan kemampuan fiskal pada tiap daerah (equalizing transfer).
Secara umum dana PKPD terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus (spesific grant). Penggunaan DAU, DBHP dan DBH SDA (block grants) diserahkan pada kebijakan masing-masing daerah. Pada awal penerapannya DAU banyak dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin terutama untuk belanja pegawai sebagai dampak pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai pemda. Sedangkan penggunaan DAK (spesific grants) telah ditentukan oleh pemerintah pusat dengan kewajiban daerah penerima harus menyediakan 10% dana pendamping.
Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai tujuan utama untuk memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Melalui kebijakan bagi hasil SDA diharapkan masyarakat daerah dapat merasakan hasil dari sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini karena selama pemerintahan orde baru hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat.
Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Di samping itu tujuan pemberian DAK adalah untuk mengurangi inter-jurisdictional spillovers, dan meningkatkan penyediaan barang publik di daerah. Dalam perspektif peningkatan pemerataan pendapatan maka peranan DAK sangat penting untuk mempercepat konvergensi antar daerah, karena dana diberikan sesuai dengan prioritas nasional, misalnya DAK untuk bantuan keluarga miskin. Dalam jangka panjang dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan daerah akan dialihkan menjadi DAK (Pasal 107 UU No. 33 tahun 2000).
Keberhasilan pencapaian tujuan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan antar daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro daerah.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat menggunakan pendekatan expenditure assignment dan revenue assigment. Pendekatan expenditure assigment menyatakan bahwa terjadi perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran local public goods meningkat. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui dua tahap: Pertama; Menentukan secara umum batasan urusan pemerintah pusat dan daerah. Kedua; Membagi secara tegas urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara spesifik untuk urusan yang bersifat “grey area”. Pendekatan ini mensyaratkan penentuan Standar Pelayanan Minimum (SPM) setiap urusan yang dilimpahkan ke pemerintah daerah sudah terindentifikasi, sehingga besarnya standar pengeluaran minimum (Standard Spending Assesement = SSA) untuk setiap penyediaan barang publik yang didaerahkan dapat diketahui.
Ciri utama pendekatan revenue assigment yaitu memberikan peningkatan kemampuan keuangan, melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan. Penentuan sumber-sumber pembiayaan ke daerah dapat dilakukan dengan berpegangan pada tax assigment.

Blok Fiskal Daerah
Tujuan utama blok fiskal daerah untuk mengetahui besarnya celah fiskal daerah dan upaya optimalisasi fiskal daerah. Blok Fiskal dapat dituliskan sebagai berikut:
Surplus/Defisit
SURPLUS=TR-TEXP
Surplus atau defisit APBD merupakan pengurangan antara Total Penerimaan Daerah (TR) dengan Total Pengeluaran Daerah (TEXP).
TR = PKPD + NPKPD + SAL  
PKPD = DAU + DBHP + DBHSDA + DAK
DBHP = PBB + PPH
NPKPD = PAD + LLPS  
Total Penerimaan Daerah (TR) merupakan penjumlahan dari dana Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (PKPD), non PKPD (NPKPD), dan sisa lebih anggaran tahun lalu (SAL). Dana PKPD merupakan penjumlahan dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP), Dana Bagi Hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam (DBHSDA), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBHP merupakan penjumlahan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) termasuk juga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (Pph). Sedangkan dana non PKPD terdiri dari dana alokasi khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Lain-Lain Pendapatan Yang Syah (LLPS).


Pendapatan Asli Daerah
PAD=TX + RET + PROFT + OTHS
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak daerah (TX) , Retribusi daerah (RET), Keuntungan BUMD, dan penerimaan lain yang syah.

Total Pengeluaran Daerah
TEXP=DE+RE
Total pengeluaran daerah merupakan penjumlahan antara Pengeluaran Pembangunan (DE) dan Pengeluaran Rutin (RE).
Pengeluaran Pembangunan (DE)
Pengeluaran pembangunan merupakan fungsi dari total penerimaan daerah (TR) dan pengeluaran pemerintah daerah tahun sebelumnya. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pemerintah daerah akan menaikkan pengeluaran pembangunannya apabila total penerimaan akan meningkat. Sedangkan pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya merupakan dasar penentuan pengeluaran pembangunan tahun selanjutnya.
Pengeluaran Rutin (RE)
Pengeluaran rutin (RE) banyak berkaitan dengan birokarasi pemerintahan daerah, sehingga jika jumlah penduduk semakin bertambah maka akan berdampak membutuhkan pelayanan publik yang semakin meningkat pula. Sedangkan pengeluaran rutin tahun sebelumnya (RE_1) merupakan dasar untuk menyusun anggaran tahun berikutnya.

 Derajat Desentralisasi dan Kemandirian

Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentalisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain:
1.      TPD/PAD

2.      BHPBP/TPD

3.      Sum/TPD

Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat menggunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah (Halim, 2001), antara lain:
4.    PAD/TKD
5.   PAD/KR
6.    (PAD+BHPBP)/TKD
7.    (PAD+BHPBP)/KR

Dimana:
PAD = Pendapatan Asli Daerah
BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
TPD = Total penerimaan Daerah
TKD = Total Pengeluaran Daerah
KR = Pengeluaran Rutin
Sum = Sumbangan dari Pusat

Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh.
Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.


KONDISI DESENTRALISASI FISKAL DI KABUPATEN OKU TIMUR PADA TAHUN 2007
Pemekaran suatu wilayah didasarkan semangat otonomi daerah dan desentralisasi, dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kini sudah diganti dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk itu PP Nomor 129/2000 direvisi dengan PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dan berdasarkan PP 129 Tahun 2000  disebutkan tujuan pemekaran daerah yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:
1.     peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
2.     percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
3.     percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
4.     percepatan pengelolaan potensi daerah;
5.     peningkatan keamanan dan ketertiban; dan
6.     peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Sejarah Terbentuknya Kabupaten OKU TIMUR
Kabupaten Ogan Komering Ulu yang mempunyai luas wilayah ± 13.661 km2 dengan penduduk pada Tahun 2003 berjumlah 1.159.719 jiwa memiliki potensi daerah dan kemampuan ekonomi untuk mendukung peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan.
Dengan luas wilayah seperti tersebut di atas dan tingginya laju pertumbuhan penduduk, maka sampai saat ini pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat belum sepenuhnya terjangkau. Kondisi demikian perlu diatasi dengan memperpendek rentang kendali pemerintahan melalui pembentukan daerah otonom baru.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan memperhatikan aspirasi masyarakat maka Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, dan Kabupaten Ogan Ilir, di Provinsi Sumatera Selatan  mengesahkan Persetujuan Terhadap Pemekaran Kabupaten Ogan Komering Ulu Menjadi 3 (Tiga) Kabupaten Yaitu Kabupaten OKU, Kabupaten OKU Selatan, dan Kabupaten OKU Timur Di Propinsi Sumatera Selatan.
Tanggal 17 Januari 2004 Gubernur Sumatera Selatan melantik pejabat Bupati Ogan Komering Ulu Timur yang menjadi tonggak sejarah dan momentum dimulainya pelaksanaan roda pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, sehingga pada tanggal ini ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur berdasarkan Perda Nomor 30 Tahun 2007.
Dan pada tahun 2009 dengan luas wilayh 3.370 Km2 terdapat 20 Kecamatan, 7 Kelurahan dan 277 Desa dengan jumlah penduduk sebesar 598.683 jiwa dibutuhkan sumber daya maksimal untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten OKU TIMUR.
Tabel 1. Data Jumlah Kecamatan, Kelurahan, Desa dan Luas Wilayah Serta Jumlah Penduduk Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dari 2003 s.d 2009
Jenis data
Tahun 2003
Tahun 2009
Tingkat Pertumbuhan
Jumlah
Kecamatan
10
20
100%
Kelurahan
3
7
133%
Desa
189
277
46,56%
Jumlah Penduduk (Jiwa)
562.189
598.683
6,49%
Luas Wilayah (Km2)
3.370
3.370
-
                Sumber : BPS Kab. OKU TIMUR



Tabel 2. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kab. OKU TIMUR Tahun 2007


1
I.
PENDAPATAN


PENDAPATAN ASLI DAERAH




Pendapatan Pajak Daerah




Pendapatan Retribusi Daerah




Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan




Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah










PENDAPATAN TRANSFER




Transfer Pemerintah Pusat - Dana Perimbangan






Dana Bagi Hasil Pajak






Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam)






Dana Alokasi Umum (DAU)






Dana Alokasi Khusus (DAK)




Transfer Pemerintah Pusat – Lainnya






Dana Penyesuaian




Transfer Pemerintah Provinsi






Pendapatan Bagi Hasil Pajak










LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH




Pendapatan Lainnya








II.
BELANJA


BELANJA OPERASI




Belanja Pegawai




Belanja Barang




Belanja Bantuan Sosial




Belanja Bantuan Keuangan










BELANJA MODAL




Belanja Tanah




Belanja Peralatan dan Mesin




Belanja Bangunan dan Gedung




Belanja Jalan. Irigasi dan Jaringan




Belanja Aset Tetap Lainnya










BELANJA TAK TERDUGA




Belanja Tak Terduga







Surplus/(Defisit)




III.
PEMBIAYAAN


PENERIMAAN DAERAH




Penggunaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)










PENGELUARAN DAERAH




Penyertaan Modal (Investasi) Pemerintah Daerah




Pembayaran Pokok Utang




Pemberian Pinjaman Daerah









PEMBIAYAAN NETTO

SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN (SILPA)
Sumber : BPAKD Kab. OKU TIMUR

Surplus/Defisit
SURPLUS=TR-TEXP
Surplus atau defisit APBD merupakan pengurangan antara Total Penerimaan Daerah (TR) dengan Total Pengeluaran Daerah (TEXP).
Surplus/(Defisit) = Rp. 3.543.882.670,02
Setelah 3 tahun sebagai daerah pemekaran Kab. OKU TIMUR mengalami surplus sebesar Rp. 3.543.882.670,02 (Tiga milyar limaratus empatpuluh tiga juta delapan ratus delapanpuluh dua ribu enam ratus tujuhpuluh rupiah dua sen).

Total Penerimaan Daerah
TR = PKPD + NPKPD + SAL
Dana Non Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (NPKPD) :
NPKPD        =     PAD + LLPS
                     =     Rp. 7.896.441.692,93
Dana Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (PKPD) :
PKPD           =     DAU + DBHP + DBHSDA + DAK
                    =     Rp.   500.167.285.160,00
Total Penerimaan Daerah (TR) :
TR               =     PKPD + NPKPD + SAL
                   =     Rp. 523.466.164.022,02

Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak daerah (TX) , Retribusi daerah (RET), Keuntungan BUMD, dan penerimaan lain yang syah.
PAD            =     TX + RET + PROFT + OTHS
                   =     Rp.       7.596.441.692,93

Total Pengeluaran Daerah
TEXP=DE+RE
Total pengeluaran daerah merupakan penjumlahan antara Pengeluaran Pembangunan (DE) dan Pengeluaran Rutin (RE).
TEXP           =     DE+RE
                    =     Rp. 519.922.281.352,00

Tabel 3. Blok Fiskal Daerah Kabupaten OKU TIMUR 2005 – 2008 (dalam ribuan rupiah)

2005
2006
2007
2008
Penerimaan Daerah




PKPD   
207.477.295,29
422.261.163,01
500.167.285,16
552.124.625,81
NPKPD 
23.940.628,80
14.275.443,73
7.896.441,69
12.329.512,30
PAD     
3.225.688,80
1.072.644.372,55
7.596.441,69
11.329.512,30
SAL
1.000.068,23
26.519.741,34
15.402.437,17
3.543.882,67
TR
232.417.992,32
463.056.348,07
523.466.164,02
567.998.020,78
Pengeluaran Daerah




TEXP 
231.437.375,46
463.056.348,07
519.922.281,35
567.900.479,10
Surplus/Defisit




SURPLUS=TR-TEXP
980.616,86
0,00
3.543.882,67
97.541,68
Sumber : data diolah 2009

Mengukur kinerja keuangan daerah melalui derajat desentralisasi fiskal dan derajat kemandirian daerah di Kabupaten OKU TIMUR

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia, menyatakan bahwa Di dalam suatu model pertumbuhan kota yang ideal, perlu ditekankan terhadap upaya peningkatan perlayanan Publik, yang berupa: (a) Tata pemerintahan yang baik akan mendorong manajemen finansial dan penyediaan pelayanan kota yang bermutu tinggi; (b) investor yang tertarik dengan kemajuan tersebut akan merangsang pengembangan ekonomi lokal dan meningkatkan kualitas hidup bagi semua orang termasuk masyarakat miskin; (c) pengembangan ekonomi lokal akan menguatkan keuangan daerah dan membantu mengentaskan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja; dan (d) posisi fiskal yang lebih kuat akan meningkatkan layanan kota dan membuat siklus pengembangan terus bergerak maju (Word Bank, 2003).
Upaya peningkatan pelayanan publik di Kabupaten OKU TIMUR dapat dicerminkan dari realisasi pengeluaran pembangunan Kabupaten OKU TIMUR. Pelayanan publik mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2005 ke tahun 2006 sebesar 22,44%, dari tahun 2006 ke tahun 2007 kondisinya menurun 0,82% dan dari tahun 2007 ke tahun 2008 kembali menurun sebesar 4,84%. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa realisasi pengeluaran Kabupaten OKU TIMUR masih didominasi oleh pengeluaran Rutin.


 

Gambar 1. Persentase realisasi pengeluaran Kabupaten OKU TIMUR 2005-2008
Dari komposisi di atas dapat disimpulkan bahwa sektor pelayanan publik belum menjadi prioritas di Kabupaten OKU TIMUR karena sampai dengan tahun 2008 pengeluaran rutin masih mendominasi dalam total pengeluaran Kabupaten OKU TIMUR. Pada era otonomi, seyogyanya alokasi dana pembangunan Kabupaten OKU TIMUR lebih ditingkatkan. Selain meningkatnya permintaan untuk investasi infrastruktur dan penunjang perekonomian, Kabupaten OKU TIMUR perlu membangun mekanisme keuangan yang berkelanjutan, sebuah proses yang membutuhkan reformasi pada berbagai tingkatan dan merupakan kebijakan yang berorientasi kedepan.

 
Gambar 2. Persentase realisasi penerimaan Kabupaten OKU TIMUR 2005-2008

Kabupaten OKU TIMUR kekurangan sumber daya yang memadai untuk membiayai seluruh kebutuhan pengeluarannya, hal ini terlihat dari rendahnya kontribusi PAD dalam penerimaan Daerah (Tabel 5). Pada Tahun 2005 PAD Kabupaten OKU TIMUR sebesar 1,39%, tahun 2006 sebesar 2,46% sampai dengan tahun 2008 PAD Kabupaten OKU TIMUR hanya menyumbang sebesar 2,01% dari seluruh total penerimaan Kabupaten OKU TIMUR. Sedangkan dalam Struktur PAD Kabupaten OKU TIMUR, masih didominasi oleh pajak daerah, retribusi dan lain-lain PAD yang sah (Tabel 6), hal ini menunjukkan belum optimalnya peran BUMD dalam Penerimaan Kabupaten OKU TIMUR, oleh karena itu Kabupaten OKU TIMUR perlu meningkatkan pemasukannya sendiri; meningkatkan trasparansi, akuntabilitas dan pengeluaran umum yang efisien; serta memperkuat proses-proses penganggaran, pencatatan keuangan, pengadaan dan pemeriksaan (Kuncoro,M., 2004).





 Gambar 3. Komposisi Persentase PAD Kabupaten OKU TIMUR 2005-2008
Peningkatan Sumber daya dan penerimaan Kabupaten OKU TIMUR ini dapat dicapai dengan perpajakan dan retribusi daerah, peminjaman, cost recovery dan kemitraan swasta-publik. Dalam konteks pinjaman daerah, mekanime peminjaman dana Kubupaten OKU TIMUR  berada dibawah kebijakan fiskal wilayah pemerintah Indonesia, hal ini juga berdampak pada implementasi proyek yang dibiayai donor di setiap sektor yang dioperasikan oleh pemerintah daerah (World Bank, 2003).







Gambar 4. Derajat Desentalisasi Fiskal Kabupaten OKU TIMUR Tahun 2005-2008

Seperti yang telah dikemukakan dalam mengembangkan mekanisme keuangan daerah Kabupaten OKU TIMUR yang berkelanjutan sangat bergantung pada kemampuan finansial pemerintah Kabupaten OKU TIMUR (terlihat pada Gambar 4 dan Gambar 5). Gambar 4 menunjukkan bahwa peranan pemerintah pusat cukup besar dalam realisasi penerimaan Kabupaten OKU TIMUR, terlihat bahwa komposisi PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) tahun 2005 sebesar 1,39%, kemudian diikuti oleh komposisi penerimaan Kabupaten OKU TIMUR dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah sebesar 32,13% dan bagian terbesar dari penerimaan daerah berasal dari Sumbangan Pemerintah Pusat (Sum) terhadap Total Penerimaan Daerah sebesar 57,13%. Setelah tahun 2008 kemampuan daerah tidak meningkat bahkan kecenderungan ketergantungan ke Pemerintah Pusat semakin besar dimana PAD hanya mampun memberikan kontribusi sebesar 1,99% dan BHPBP turun menjadi 22,38% sedangkan Sumbangan Pemerintah Pusat semakin besar terhadap penerimaan daerah Kabupaten OKU TIMUR sebesar 74,83%.
Sedangkan Gambar 5 bahwa Penerimaan dari PAD belum mampu digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin. Untuk mengurangi ketergantungan pada pengalihan keuangan dari pusat, pemerintah daerah perlu menelusuri upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas finansialnya dengan mengembangkan basis pajak, meningkatkan pengumpulan pajak dan retribusi, merasionalkan pengeluaran, mempromosikan kemitraan swasta-pemerintah dalam menyediakan pelayanan dan menggunakan lahan sebagai sumber daya yang penting.
Berikut ini adalah langkah-langkah positif: mengembangkan basis pajak daerah melalui reformasi fiskal pemerintah Indonesia, pajak properti merupakan hal yang tepat untuk langkah tersebut; meluruskan administrasi; merestrukturisasi kesulitan BUMD dan instansi layanan publik pemerintah lainnya agar lebih Profitable dan meningkatkan cost recovery untuk pelayanan sehingga dapat membantu Peningkatan PAD dan membangun mekanisme keuangan Kabupaten OKU TIMUR yang Berkelanjutan.


 



Gambar 5. Derajat Kemandirian Daerah Kabupaten OKU TIMUR Tahun 2005-2008

Dalam membiayai investasi infrastrukturnya sendiri, Kabupaten OKU TIMUR perlu mengatur sumber daya substansial dari sektor swasta. Hal ini membutuhkan pembentukan kelembagaan dan peraturan lingkungan yang menarik investasi swasta dalam bidang infrastruktur, merubah hukum dan peraturan; mengenalkan konsep pemberian harga yang merefleksikan biaya (cost-reflective pricing); dan menyediakan prosedur dan proses privatisasi dan/atau disinvestasi yang transparan. Reformasi semacam ini juga berkontribusi dalam meningkatkan keakuntabilitasan sektor publik dan menyediakan pelayanan publik yang lebih baik.
Hal ini sesuai dengan peran pemerintah sebagai fasilitator dan regulator dalam menyediakan pelayanan publik dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif. Anggaran pembangunan daerah semata-mata ditujukan untuk menciptakan iklim usaha yang bersifat eskalatif sehingga anggaran pembangunan harus difokuskan pada upaya perbaikan pelayanan publik misalnya perbaikan sarana dan prasarana publik, perbaikan pelayanan kesehatan, perbaikan kwalitas sumber daya manusia, serta peningkatan pendidikan.
Desentralisasi secara umum, dan desentralisasi fiskal secara khusus, pada hakekatnya bertujuan mendekatkan pemerintah dengan masyarakat sedemikian sehingga akan meningkatkan efisiensi sektor publik, dari sisi tranparansi dan akuntabilitas pengambilan kebijakan untuk penggunaan dana publik dalam rangka penyediaan layanan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Mengukur Perubahan dan Perkembangan Struktur Perekonomian di Kabupaten OKU TIMUR.

Bila   APBD   merupakan   besaran   anggaran   penerimaan   dan   pengeluaran pemerintah daerah, maka PDRB merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh penduduk di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). Jadi bila dibandingkan, maka besaran APBD hanya merupakan bagian kecil dari PDRB. Namun demikian, peran APBD dalam perekonomian tidak dilihat dari besar kecilnya nominal, tetapi dari nilai kebijakan yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi (PDRB).
a.      Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Untuk mengcover perubahan dan perkembangan struktur perekonomian yang terus begerak dari waktu ke waktu, maka diperlukan adjusment terhadap harga dasar perhitungan PDRB. Mulai Tahun 2004 berdasarkan rekomendasi PBB maka tahun dasar perhitungan PDRB berubah dari tahun dasar 1993, menjadi tahun dasar 2000 (at constant price). Perubahan tahun dasar ini sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang sempat mengalami gangguan sejak terjadi krisis moneter tahun 1997 yang lalu.
Adapun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten OKU TIMUR selama kurun waktu 2000-2007 menurut harga berlaku selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. 

Tabel 8. Perkembangan Produk Domestik Bruto berdasarkan harga berlaku dan harga konstan 2000 di Kabupaten OKU TIMUR Tahun 2003 – 2007
 

Harga Berlaku (Rp.)
Harga konstan 2003 (Rp.)
2003
2.016.657
1.580.910
2004
2.267.701
1.666.184
2005
2.613.209
1.761.563
2006
3.063.108
1.875.941
2007
3.629.682
2.001.672
Sumber : BPS Kab. OKU TIMUR

Pada Tahun 2003 PDRB Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 2.016.657 juta sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp. 2.267.701 juta, tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 2.613.209 juta, tahun 2006 menjadi Rp. 3.063.108 juta dan selanjutnya tahun 2007 PDRB Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga berlaku kembali mengalami peningkatan menjadi Rp. 3.629.682 juta.


Gambar 6. Perkembangan PDRB Kabupaten OKU TIMUR Tahun 2000 – 2007

Dilihat dari kontribusi masing-masing sektor ekonomi terlihat bahwa pada tahun 2007, sektor pertanian masih menjadi sektor unggulan (leading sector) dalam pembentukan PDRB atas dasar harga berlaku di Kabupaten OKU TIMUR dengan kontribusi 50,84%. Tiga sektor utama penyumbang PDRB Kabupaten OKU TIMUR terbesar adalah Sektor Pertanian (50,84%), disusul Sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran (14,74%) dan Sektor Jasa (11,60%).
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga konstant selama kurun waktu 2000-2007 cenderung meningkat secara konstant dari tahun ke tahun. Hal ini menandai bahwa kondisi perekonomian didaerah ini cukup kondusif dan bergairah. Pada tahun 2007, PDRB Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga konstant senilai Rp. 2.001.672 juta, meningkat dari tahun 2006 yang bernilai Rp. 1.875.941 juta. Dilihat dari kontribusi masing-masing sektor (lapangan usaha) tampak bahwa pada tahun 2007 sektor pertanian merupakan sektor unggulan (leading sector) dalam pembentukan PDRB Kabupaten OKU TIMUR, kondisi ini tidak berlaku apabila perhitungan PDRB dilakukan atas dasar harga berlaku.
Ada tiga sektor utama penyumbang PDRB Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga konstant terbesar juga tidak berbeda dengan apabila dihitung atas dasar harga berlaku  yaitu sebagai berikut Sektor Pertanian (51,13%), disusul Sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran (16,49%) dan Sektor Jasa (9,95%).

b.      Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dalam melihat kinerja ekonomi suatu daerah. Pertumbuhan tersebut merupakan agregat dari pertumbuhan dari sektor ekonomi. Pertumbuhan yang positif menunjukan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya apabila negatif menunjukan terjadinya penurunan. Pertumbuhan ekonomi kabupaten ini pada tahun 2007 sebesar 6,70% meningkat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2006 sebesar 6,49%.

Gambar 7. Tingkat pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten OKU TIMUR Tahun 2003 – 2007

Dilihat menurut lapangan usaha, seluruh sektor ekonomi di Kabupaten OKU TIMUR mengalami pertumbuhan jika dibandingkan dengan tahun 2006. Tiga sektor yang mengalami pertumbuhan terbesar adalah perdagangan, hotel dan restoran (9,73%) sektor angkutan dan komunikasi (8,87%) dan sektor jasa-jasa (6,67%).

c.       Pendapatan Perkapita
Indikator ekonomi makro lainnya yang bermanfaat untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah pendapatan per kapita penduduk. Secara umum besaran pendapatan per kapita di dapat dari pembagian besaran PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun pada periode waktu tertentu. Sebagai indikator ekonomi makro, pendapatan per kapita suatu wilayah dapat memberi informasi awal mengenai tingkat kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan per kapita suatu wilyah, maka tingkat kesejahteraan penduduk semakin tinggi.
Tabel 4
Perkembangan Pendapatan Perkapita Kabupaten OKU TIMUR
(dalam juta rupiah)
                                    
No
Tahun
Harga Berlaku
Harga Konstan
1
2000
2,316
2,316
2
2001
2,597
2,312
3
2002
2,929
2,392
4
2003
3,141
2,450
5
2004
3,456
2,531
6
2005
3,924
2,608
7
2006
4,876
3,002
8
2007
6,426
3,543
                                         Sumber : BPS Kab. OKU TIMUR

Pendapatan per kapita penduduk Kabupaten OKU TIMUR mengalami peningkatan secara konstan dan stabil dari tahun ke tahun baik dihitung atas dasar harga berlaku maupun harga konstan. Pada tahun 2007 ini pendapatan per kapita penduduk Kabupaten OKU TIMUR sebesar Rp. 6.426.218 (atas dasar harga berlaku) atau sebesar Rp. 3.543.886 (atas dasar harga konstan).
KESIMPULAN
Secara teori, model desentralisasi fiskal memiliki dua pendekatan berbeda: model desentralisasi sisi penerimaaan melalui mekanisme dana perimbangan (revenue assigment) maupun kepemilikan pendapatan asli daerah (tax assigment), dan model desentralisasi sisi pengeluaran (expenditure assignment). Model pertama, desentralisasi di sisi pengeluaran, dilakukan dengan cara meningkatkan kemampuan fiskal, melalui alih sumber pembiayaan pusat ke daerah, dalam rangka membiayai fungsi/urusan yang dilimpahkan. Sementara model desentralisasi di sisi pengeluaran, dilakukan lewat pemberian kewenangan kepada Pemda membelanjakan anggarannya menurut kebutuhan/prioritas daerah yang bersangkutan. Dengan pilihan model tersebut, pokok soal bukan terutama seberapa banyak dana yang ditransfer pusat tetapi seberapa besar diskresi bagi Pemda untuk mengalokasikan dana yang ada.
        Dari hasil pengolahan data yang ada menunjukan bahwa adanya ketergantungan yang cukup besar terhadap pusat untuk melaksanakan pembangunan. Derajat kemandirian Kabupaten OKU TIMUR menunjukkan bahwa daerah belum mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka terlihat kinerja keuangan daerah masih rendah.
Secara umum, semakin tinggi kontribusi PAD dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan Kabupaten OKU TIMUR negatif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah Kabupaten OKU TIMUR dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah belum maksimal dan sangat tergantu dengan pusat.
Akan tetapi akibat dari adanya aktifitas pembangunan di Kabupaten OKU Timur maka dapat diukur perubahan dan perkembangan struktur perekonomian di Kabupaten OKU TIMUR. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten OKU TIMUR selama kurun waktu 2000-2007 menurut harga berlaku maupun harga konstant selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, berarti juga terjadi tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif.

SARAN
Kabupaten OKU TIMUR memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat, yang disebabkan oleh belum optimalnya penerimaan dari pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten OKU TIMUR perlu meningkatan penerimaan Sumber daya dan penerimaan Kabupaten dengan meningkatkan penerimaan dari perpajakan dan retribusi daerah, selain itu perlu juga mengoptimalkan kinerja dari BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) agar dapat lebih menyokong PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Walaupun PAD yang terbatas dan juga tidak kaya dengan sumber daya alam. Yang sebagian besar penerimaan berasal dari transfer pemerintah pusat. Namun keterbatasan anggaran tersebut, diharapkan Pemerintah Kabupaten OKU TIMUR dapat menyediakan pelayanan publik yang baik dan menjangkau masyarakat miskin, dengan berprinsip pada efisiensi anggaran ditambah dengan berbagai kreativitas dan pelibatan masyarakat dalam berbagai aktivitas dan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah.



DAFTAR PUSTAKA

_______, (2003), Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2003; tentang Pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dan Kabupaten Ogan Ilir di Provinsi Sumatera Selatan.


_______, (2007), OKU TIMUR dalam angka 2007, Martapura.


_______, (2008), Laporan Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Martapura.


_______, (2008), Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Tahun Anggaran 2007, www.bpk.go.id.


_______, (2004), Tesis “Analisa Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur” (Studi Kasus 37 Kota/Kabupaten Periode 2001-2004), Surabaya.


Hirawan, Susiyati Bambang, (2007), Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia, Jakarta.


Jaweng, Robert Endi, (2007), Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Pusat-Daerah, Harian Kontan, Jakarta.


Landiyanto, Erlangga Agustino, (2005), Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota Surabaya, Surabaya.


Waluyo, Joko, (2007), Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Indonesia, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar