Otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia, sudah diatur dalam RI No.
5 tahun 1975 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Dalam prakteknya
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama pemerintahan orde
baru belum dapat mengurangi ketimpangan vertikal dan horisontal, yang
ditunjukkan dengan tingginya derajat sentralisasi fiskal dan besarnya
ketimpangan antardaerah dan wilayah Praktek internasional desentralisasi fiskal
baru dijalankan pada 1 Januari 2001 berdasarkan UU RI No. 25 tahun 1999 yang
disempurnakan dengan UU RI No. 33 tahun 2000 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Prinsip dasar pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Indonesia ialah “Money Follows Functions”,
yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pembiayaan
pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah.
Berdasarkan pasal 5 UU No.
33 tahun 2000 sumber-sumber penerimaan daerah adalah pendapatan daerah dan
pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana
perimbangan dan lain-lain pendapatan. Dana Perimbangan keuangan Pusat-Daerah
(PKPD) merupakan mekanisme transfer pemerintah pusat-daerah terdiri dari Dana
Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam (DBHP dan SDA), Dana Alokasi Umum (DAU),
dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana pembiayaan daerah berasal dari Sisa Lebih
Anggaran daerah (SAL), pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan privatisasi
kekayaan daerah yang dipisahkan. Besarnya PAD dan pembiayaan daerah dapat
diklasifikasikan sebagai dana non PKPD, karena berasal dari pengelolaan fiskal
daerah. Khusus pinjaman daerah pemerintah pusat masih khawatir dengan kondisi
utang negara, sehingga belum mengijinkan penerbitan utang daerah.
Idealnya semua pengeluaran
pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD-nya, sehingga daerah
menjadi benar-benar otonom. Selama tahun 2001 – 2003 peranan PAD terhadap
pengeluaran rutin dan total pengeluaran APBD semakin menurun. Menurunnya
peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan pengeluaran total dalam APBD
mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan peranan mekanisme transfer dari
pemerintah pusat melalui dana perimbangan. Tujuan utama pemberian dana
perimbangan dalam kerangka otonomi daerah untuk pemerataan kemampuan fiskal
pada tiap daerah (equalizing transfer).
Secara umum dana PKPD
terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus (spesific
grant). Penggunaan DAU, DBHP dan DBH SDA (block grants) diserahkan
pada kebijakan masing-masing daerah. Pada awal penerapannya DAU banyak
dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin terutama untuk belanja pegawai
sebagai dampak pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai pemda. Sedangkan
penggunaan DAK (spesific grants) telah ditentukan oleh pemerintah pusat
dengan kewajiban daerah penerima harus menyediakan 10% dana pendamping.
Kebijakan Dana Alokasi Umum
(DAU) mempunyai tujuan utama untuk memperkuat kondisi fiskal daerah dan
mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Melalui
kebijakan bagi hasil SDA diharapkan masyarakat daerah dapat merasakan hasil dari
sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini karena selama pemerintahan orde baru
hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat.
Dana Alokasi Khusus (DAK)
bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
dan sesuai dengan prioritas nasional. Di samping itu tujuan pemberian DAK
adalah untuk mengurangi inter-jurisdictional spillovers, dan
meningkatkan penyediaan barang publik di daerah. Dalam perspektif peningkatan
pemerataan pendapatan maka peranan DAK sangat penting untuk mempercepat
konvergensi antar daerah, karena dana diberikan sesuai dengan prioritas
nasional, misalnya DAK untuk bantuan keluarga miskin. Dalam jangka panjang dana
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran
kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang
menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan daerah akan dialihkan
menjadi DAK (Pasal 107 UU No. 33 tahun 2000).
Keberhasilan
pencapaian tujuan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan antar daerah sangat dipengaruhi oleh
kondisi ekonomi makro daerah.
Dalam pelaksanaan
desentralisasi fiskal dapat menggunakan pendekatan expenditure assignment dan
revenue assigment. Pendekatan expenditure assigment menyatakan
bahwa terjadi perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah, sehingga peran local public goods meningkat.
Kebijakan ini dapat dilakukan melalui dua tahap: Pertama; Menentukan
secara umum batasan urusan pemerintah pusat dan daerah. Kedua; Membagi
secara tegas urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara spesifik
untuk urusan yang bersifat “grey area”. Pendekatan ini mensyaratkan
penentuan Standar Pelayanan Minimum (SPM) setiap urusan yang dilimpahkan ke
pemerintah daerah sudah terindentifikasi, sehingga besarnya standar pengeluaran
minimum (Standard Spending Assesement = SSA) untuk setiap penyediaan
barang publik yang didaerahkan dapat diketahui.
Ciri utama pendekatan revenue
assigment yaitu memberikan peningkatan kemampuan keuangan, melalui alih
sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang
didesentralisasikan. Penentuan sumber-sumber pembiayaan ke daerah dapat
dilakukan dengan berpegangan pada tax assigment.
Blok Fiskal Daerah
Tujuan utama blok fiskal daerah
untuk mengetahui besarnya celah fiskal daerah dan upaya optimalisasi fiskal
daerah. Blok Fiskal dapat dituliskan sebagai berikut:
Surplus/Defisit
SURPLUS=TR-TEXP
Surplus atau defisit APBD merupakan
pengurangan antara Total Penerimaan Daerah (TR) dengan Total Pengeluaran Daerah
(TEXP).
TR = PKPD + NPKPD + SAL
PKPD = DAU + DBHP + DBHSDA +
DAK
DBHP = PBB + PPH
NPKPD = PAD + LLPS
Total Penerimaan Daerah (TR)
merupakan penjumlahan dari dana Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (PKPD), non
PKPD (NPKPD), dan sisa lebih anggaran tahun lalu (SAL). Dana PKPD merupakan
penjumlahan dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP), Dana
Bagi Hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam (DBHSDA), dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). DBHP merupakan penjumlahan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) termasuk
juga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan
Bangunan (Pph). Sedangkan dana non PKPD terdiri dari dana alokasi khusus (DAK),
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Lain-Lain Pendapatan Yang Syah (LLPS).
Pendapatan Asli Daerah
PAD=TX + RET + PROFT + OTHS
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak daerah (TX) , Retribusi daerah (RET),
Keuntungan BUMD, dan penerimaan lain yang syah.
Total Pengeluaran Daerah
TEXP=DE+RE
Total pengeluaran daerah merupakan
penjumlahan antara Pengeluaran Pembangunan (DE) dan Pengeluaran Rutin (RE).
Pengeluaran Pembangunan (DE)
Pengeluaran pembangunan merupakan
fungsi dari total penerimaan daerah (TR) dan pengeluaran pemerintah daerah
tahun sebelumnya. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pemerintah daerah akan
menaikkan pengeluaran pembangunannya apabila total penerimaan akan meningkat.
Sedangkan pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya merupakan dasar penentuan
pengeluaran pembangunan tahun selanjutnya.
Pengeluaran Rutin (RE)
Pengeluaran rutin (RE)
banyak berkaitan dengan birokarasi pemerintahan daerah, sehingga jika jumlah
penduduk semakin bertambah maka akan berdampak membutuhkan pelayanan publik
yang semakin meningkat pula. Sedangkan pengeluaran rutin tahun sebelumnya
(RE_1) merupakan dasar untuk menyusun anggaran tahun berikutnya.
Derajat Desentralisasi dan Kemandirian
Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu
melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah
tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber
keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin,
oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh
kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua ciri
tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan.
Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi
daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut
Musgrave dan Musgrave (1991) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat
digunakan derajat desentalisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah,
antara lain:
1.
TPD/PAD
3.
Sum/TPD
Selain itu, dalam
melihat kinerja keuangan daerah dapat menggunakan derajat kemandirian daerah
untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi
kebutuhan daerah (Halim, 2001), antara lain:
4. PAD/TKD
5. PAD/KR
7. (PAD+BHPBP)/KR
Dimana:
PAD = Pendapatan Asli Daerah
BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak
TPD = Total penerimaan
Daerah
TKD = Total Pengeluaran
Daerah
KR = Pengeluaran Rutin
Sum = Sumbangan dari Pusat
Semakin tinggi derajat
kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu
membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila
dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat
kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara
keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh.
Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan
semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan
menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja
keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam
membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah
tersebut.
KONDISI DESENTRALISASI FISKAL DI
KABUPATEN OKU TIMUR PADA TAHUN 2007
Pemekaran suatu wilayah didasarkan semangat otonomi
daerah dan desentralisasi, dasar
hukum Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 adalah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kini sudah diganti dengan UU No
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk itu PP Nomor 129/2000 direvisi
dengan PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah. Dan berdasarkan PP 129 Tahun 2000 disebutkan tujuan
pemekaran daerah yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:
1.
peningkatan pelayanan kepada
masyarakat;
2. percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
3. percepatan pelaksanaan pembangunan
perekonomian daerah;
4. percepatan
pengelolaan potensi daerah;
5. peningkatan keamanan dan ketertiban; dan
5. peningkatan keamanan dan ketertiban; dan
6. peningkatan hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah.
Sejarah Terbentuknya Kabupaten OKU TIMUR
Kabupaten Ogan Komering Ulu yang mempunyai luas wilayah
± 13.661 km2 dengan penduduk pada Tahun 2003 berjumlah 1.159.719 jiwa memiliki
potensi daerah dan kemampuan ekonomi untuk mendukung peningkatan
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan
kemasyarakatan.
Dengan luas wilayah seperti tersebut di atas dan
tingginya laju pertumbuhan penduduk, maka sampai saat ini pelaksanaan
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat belum sepenuhnya terjangkau.
Kondisi demikian perlu diatasi dengan memperpendek rentang kendali pemerintahan
melalui pembentukan daerah otonom baru.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan memperhatikan
aspirasi masyarakat maka Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tanggal 18
Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu
Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, dan Kabupaten Ogan Ilir, di
Provinsi Sumatera Selatan mengesahkan
Persetujuan Terhadap Pemekaran Kabupaten Ogan Komering Ulu Menjadi 3 (Tiga)
Kabupaten Yaitu Kabupaten OKU, Kabupaten OKU Selatan, dan Kabupaten OKU Timur
Di Propinsi Sumatera Selatan.
Tanggal 17 Januari 2004 Gubernur Sumatera Selatan melantik
pejabat Bupati Ogan Komering Ulu Timur yang menjadi tonggak sejarah dan
momentum dimulainya pelaksanaan roda pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ulu
Timur, sehingga pada tanggal ini ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Ogan
Komering Ulu Timur berdasarkan Perda Nomor 30 Tahun 2007.
Dan pada tahun 2009 dengan luas wilayh 3.370 Km2
terdapat 20 Kecamatan, 7 Kelurahan dan 277 Desa dengan jumlah penduduk sebesar
598.683 jiwa dibutuhkan sumber daya maksimal untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten OKU TIMUR.
Tabel 1. Data Jumlah Kecamatan, Kelurahan,
Desa dan Luas Wilayah Serta Jumlah Penduduk Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur
dari 2003 s.d 2009
Jenis
data
|
Tahun
2003
|
Tahun
2009
|
Tingkat
Pertumbuhan
|
|
Jumlah
|
Kecamatan
|
10
|
20
|
100%
|
Kelurahan
|
3
|
7
|
133%
|
|
Desa
|
189
|
277
|
46,56%
|
|
Jumlah
Penduduk (Jiwa)
|
562.189
|
598.683
|
6,49%
|
|
Luas
Wilayah (Km2)
|
3.370
|
3.370
|
-
|
Sumber : BPS Kab. OKU TIMUR
Tabel 2. Laporan Realisasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
Kab. OKU TIMUR Tahun 2007
1
|
|||
I.
|
PENDAPATAN
|
||
|
PENDAPATAN ASLI DAERAH
|
||
|
|
Pendapatan Pajak Daerah
|
|
|
|
Pendapatan Retribusi Daerah
|
|
|
|
Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
|
|
|
|
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
|
|
|
|
|
|
|
PENDAPATAN TRANSFER
|
||
|
|
Transfer Pemerintah Pusat - Dana Perimbangan
|
|
|
|
|
Dana
Bagi Hasil Pajak
|
|
|
|
Dana
Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam)
|
|
|
|
Dana
Alokasi Umum (DAU)
|
|
|
|
Dana
Alokasi Khusus (DAK)
|
|
|
Transfer
Pemerintah Pusat – Lainnya
|
|
|
|
|
Dana
Penyesuaian
|
|
|
Transfer
Pemerintah Provinsi
|
|
|
|
|
Pendapatan
Bagi Hasil Pajak
|
|
|
|
|
|
LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH
|
||
|
|
Pendapatan Lainnya
|
|
|
|
|
|
II.
|
BELANJA
|
||
|
BELANJA OPERASI
|
||
|
|
Belanja Pegawai
|
|
|
|
Belanja Barang
|
|
|
|
Belanja Bantuan Sosial
|
|
|
|
Belanja Bantuan Keuangan
|
|
|
|
|
|
|
BELANJA MODAL
|
||
|
|
Belanja Tanah
|
|
|
|
Belanja Peralatan dan Mesin
|
|
|
|
Belanja Bangunan dan Gedung
|
|
|
|
Belanja Jalan. Irigasi dan Jaringan
|
|
|
|
Belanja Aset Tetap Lainnya
|
|
|
|
|
|
|
BELANJA TAK TERDUGA
|
||
|
|
Belanja Tak Terduga
|
|
Surplus/(Defisit)
|
|||
III.
|
PEMBIAYAAN
|
||
|
PENERIMAAN DAERAH
|
||
|
|
Penggunaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)
|
|
|
|
|
|
|
PENGELUARAN DAERAH
|
||
|
|
Penyertaan Modal (Investasi) Pemerintah Daerah
|
|
|
|
Pembayaran Pokok Utang
|
|
|
|
Pemberian Pinjaman Daerah
|
|
|
|
|
|
PEMBIAYAAN NETTO
|
|||
SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN (SILPA)
|
Sumber
: BPAKD Kab. OKU TIMUR
Surplus/Defisit
SURPLUS=TR-TEXP
Surplus atau defisit APBD merupakan
pengurangan antara Total Penerimaan Daerah (TR) dengan Total Pengeluaran Daerah
(TEXP).
Surplus/(Defisit) = Rp. 3.543.882.670,02
Setelah 3 tahun sebagai daerah pemekaran Kab. OKU TIMUR
mengalami surplus sebesar Rp. 3.543.882.670,02 (Tiga milyar limaratus empatpuluh tiga juta
delapan ratus delapanpuluh dua ribu enam ratus tujuhpuluh rupiah dua sen).
Total Penerimaan Daerah
TR = PKPD + NPKPD + SAL
Dana Non Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (NPKPD) :
NPKPD = PAD + LLPS
= Rp. 7.896.441.692,93
Dana Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (PKPD)
:
PKPD = DAU + DBHP + DBHSDA + DAK
= Rp. 500.167.285.160,00
Total
Penerimaan Daerah (TR) :
TR = PKPD + NPKPD
+ SAL
= Rp. 523.466.164.022,02
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan
penjumlahan dari penerimaan pajak daerah (TX) , Retribusi daerah (RET),
Keuntungan BUMD, dan penerimaan lain yang syah.
PAD = TX + RET +
PROFT + OTHS
= Rp. 7.596.441.692,93
Total Pengeluaran Daerah
TEXP=DE+RE
Total pengeluaran daerah merupakan
penjumlahan antara Pengeluaran Pembangunan (DE) dan Pengeluaran Rutin (RE).
TEXP = DE+RE
= Rp. 519.922.281.352,00
Tabel 3. Blok Fiskal Daerah Kabupaten
OKU TIMUR 2005 – 2008 (dalam ribuan rupiah)
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
|
Penerimaan
Daerah
|
||||
PKPD
|
207.477.295,29
|
422.261.163,01
|
500.167.285,16
|
552.124.625,81
|
NPKPD
|
23.940.628,80
|
14.275.443,73
|
7.896.441,69
|
12.329.512,30
|
PAD
|
3.225.688,80
|
1.072.644.372,55
|
7.596.441,69
|
11.329.512,30
|
SAL
|
1.000.068,23
|
26.519.741,34
|
15.402.437,17
|
3.543.882,67
|
TR
|
232.417.992,32
|
463.056.348,07
|
523.466.164,02
|
567.998.020,78
|
Pengeluaran
Daerah
|
||||
TEXP
|
231.437.375,46
|
463.056.348,07
|
519.922.281,35
|
567.900.479,10
|
Surplus/Defisit
|
||||
SURPLUS=TR-TEXP
|
980.616,86
|
0,00
|
3.543.882,67
|
97.541,68
|
Sumber : data
diolah 2009
Mengukur kinerja keuangan daerah melalui
derajat desentralisasi fiskal dan derajat
kemandirian daerah di Kabupaten OKU TIMUR
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia, menyatakan bahwa Di dalam suatu
model pertumbuhan kota yang ideal, perlu ditekankan terhadap upaya peningkatan
perlayanan Publik, yang berupa: (a) Tata pemerintahan yang baik akan mendorong manajemen
finansial dan penyediaan pelayanan kota yang bermutu tinggi; (b) investor yang
tertarik dengan kemajuan tersebut akan merangsang pengembangan ekonomi lokal
dan meningkatkan kualitas hidup bagi semua orang termasuk masyarakat miskin;
(c) pengembangan ekonomi lokal akan menguatkan keuangan daerah dan membantu
mengentaskan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja; dan (d) posisi
fiskal yang lebih kuat akan meningkatkan layanan kota dan membuat siklus
pengembangan terus bergerak maju (Word Bank, 2003).
Upaya peningkatan pelayanan
publik di Kabupaten OKU TIMUR dapat dicerminkan dari realisasi pengeluaran
pembangunan Kabupaten OKU TIMUR. Pelayanan publik mengalami peningkatan yang
cukup signifikan dari tahun 2005 ke tahun 2006 sebesar 22,44%, dari tahun 2006
ke tahun 2007 kondisinya menurun 0,82% dan dari tahun 2007 ke tahun 2008
kembali menurun sebesar 4,84%. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa realisasi pengeluaran Kabupaten
OKU TIMUR masih didominasi oleh pengeluaran Rutin.
Gambar 1. Persentase realisasi pengeluaran Kabupaten OKU
TIMUR 2005-2008
Dari komposisi di atas dapat
disimpulkan bahwa sektor pelayanan publik belum menjadi prioritas di Kabupaten
OKU TIMUR karena sampai dengan tahun 2008 pengeluaran rutin masih mendominasi
dalam total pengeluaran Kabupaten OKU TIMUR. Pada era otonomi, seyogyanya
alokasi dana pembangunan Kabupaten OKU TIMUR lebih ditingkatkan. Selain
meningkatnya permintaan untuk investasi infrastruktur dan penunjang
perekonomian, Kabupaten OKU TIMUR perlu membangun mekanisme keuangan yang
berkelanjutan, sebuah proses yang membutuhkan reformasi pada berbagai tingkatan
dan merupakan kebijakan yang berorientasi kedepan.
Gambar
2. Persentase realisasi penerimaan Kabupaten OKU TIMUR 2005-2008
Kabupaten OKU TIMUR
kekurangan sumber daya yang memadai untuk membiayai seluruh kebutuhan
pengeluarannya, hal ini terlihat dari rendahnya kontribusi PAD dalam penerimaan
Daerah (Tabel 5). Pada Tahun
2005 PAD Kabupaten OKU TIMUR sebesar 1,39%, tahun 2006 sebesar 2,46% sampai
dengan tahun 2008 PAD Kabupaten OKU TIMUR hanya menyumbang sebesar 2,01% dari
seluruh total penerimaan Kabupaten OKU TIMUR. Sedangkan dalam Struktur
PAD Kabupaten OKU TIMUR, masih didominasi oleh pajak daerah, retribusi dan
lain-lain PAD yang sah (Tabel 6),
hal ini menunjukkan belum optimalnya peran BUMD dalam Penerimaan Kabupaten OKU
TIMUR, oleh karena itu Kabupaten OKU TIMUR perlu meningkatkan pemasukannya
sendiri; meningkatkan trasparansi, akuntabilitas dan pengeluaran umum yang
efisien; serta memperkuat proses-proses penganggaran, pencatatan keuangan,
pengadaan dan pemeriksaan (Kuncoro,M., 2004).
Gambar 3. Komposisi Persentase PAD Kabupaten OKU TIMUR
2005-2008
Peningkatan Sumber daya dan
penerimaan Kabupaten OKU TIMUR ini dapat dicapai dengan perpajakan dan
retribusi daerah, peminjaman, cost recovery dan kemitraan swasta-publik.
Dalam konteks pinjaman daerah, mekanime peminjaman dana Kubupaten OKU TIMUR berada dibawah kebijakan fiskal wilayah
pemerintah Indonesia, hal ini juga berdampak pada implementasi proyek yang
dibiayai donor di setiap sektor yang dioperasikan oleh pemerintah daerah (World
Bank, 2003).
Gambar 4. Derajat Desentalisasi
Fiskal Kabupaten OKU TIMUR Tahun 2005-2008
Seperti yang telah
dikemukakan dalam mengembangkan mekanisme keuangan daerah Kabupaten OKU TIMUR
yang berkelanjutan sangat bergantung pada kemampuan finansial pemerintah Kabupaten
OKU TIMUR (terlihat pada Gambar 4 dan
Gambar 5). Gambar 4 menunjukkan bahwa peranan
pemerintah pusat cukup besar dalam realisasi penerimaan Kabupaten OKU TIMUR,
terlihat bahwa komposisi PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) tahun 2005
sebesar 1,39%, kemudian diikuti oleh komposisi penerimaan Kabupaten OKU TIMUR
dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah
sebesar 32,13% dan bagian terbesar dari penerimaan daerah berasal dari
Sumbangan Pemerintah Pusat (Sum) terhadap Total Penerimaan Daerah sebesar
57,13%. Setelah tahun 2008 kemampuan daerah tidak meningkat bahkan
kecenderungan ketergantungan ke Pemerintah Pusat semakin besar dimana PAD hanya
mampun memberikan kontribusi sebesar 1,99% dan BHPBP turun menjadi 22,38%
sedangkan Sumbangan Pemerintah Pusat semakin besar terhadap penerimaan daerah
Kabupaten OKU TIMUR sebesar 74,83%.
Sedangkan Gambar 5 bahwa Penerimaan dari PAD
belum mampu digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin. Untuk mengurangi ketergantungan
pada pengalihan keuangan dari pusat, pemerintah daerah perlu menelusuri
upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas finansialnya dengan mengembangkan
basis pajak, meningkatkan pengumpulan pajak dan retribusi, merasionalkan
pengeluaran, mempromosikan kemitraan swasta-pemerintah dalam menyediakan
pelayanan dan menggunakan lahan sebagai sumber daya yang penting.
Berikut ini adalah
langkah-langkah positif: mengembangkan basis pajak daerah melalui reformasi
fiskal pemerintah Indonesia, pajak properti merupakan hal yang tepat untuk
langkah tersebut; meluruskan administrasi; merestrukturisasi kesulitan BUMD dan
instansi layanan publik pemerintah lainnya agar lebih Profitable dan
meningkatkan cost recovery untuk pelayanan sehingga dapat membantu
Peningkatan PAD dan membangun mekanisme keuangan Kabupaten OKU TIMUR yang
Berkelanjutan.
Gambar 5. Derajat Kemandirian Daerah
Kabupaten OKU TIMUR Tahun 2005-2008
Dalam membiayai investasi infrastrukturnya sendiri, Kabupaten OKU TIMUR perlu mengatur sumber daya substansial dari sektor
swasta. Hal ini membutuhkan pembentukan kelembagaan dan peraturan lingkungan
yang menarik investasi swasta dalam bidang infrastruktur, merubah hukum dan
peraturan; mengenalkan konsep pemberian harga yang merefleksikan biaya (cost-reflective
pricing); dan menyediakan prosedur dan proses privatisasi dan/atau
disinvestasi yang transparan. Reformasi semacam ini juga berkontribusi dalam
meningkatkan keakuntabilitasan sektor publik dan menyediakan pelayanan publik
yang lebih baik.
Hal ini sesuai dengan peran
pemerintah sebagai fasilitator dan regulator dalam menyediakan pelayanan publik
dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif. Anggaran pembangunan
daerah semata-mata ditujukan untuk menciptakan iklim usaha yang bersifat
eskalatif sehingga anggaran pembangunan harus difokuskan pada upaya perbaikan
pelayanan publik misalnya perbaikan sarana dan prasarana publik, perbaikan
pelayanan kesehatan, perbaikan kwalitas sumber daya manusia, serta peningkatan
pendidikan.
Desentralisasi secara umum, dan
desentralisasi fiskal secara khusus, pada hakekatnya bertujuan mendekatkan
pemerintah dengan masyarakat sedemikian sehingga akan meningkatkan efisiensi
sektor publik, dari sisi tranparansi dan akuntabilitas pengambilan kebijakan
untuk penggunaan dana publik dalam rangka penyediaan layanan masyarakat dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Mengukur
Perubahan dan Perkembangan Struktur Perekonomian di Kabupaten OKU TIMUR.
Bila APBD
merupakan besaran anggaran penerimaan
dan pengeluaran pemerintah daerah, maka PDRB merupakan nilai
barang dan jasa yang diproduksi oleh
penduduk di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). Jadi
bila dibandingkan, maka besaran APBD hanya merupakan bagian kecil dari PDRB.
Namun demikian, peran APBD dalam perekonomian tidak dilihat dari besar kecilnya
nominal, tetapi dari nilai kebijakan yang dapat menstimulasi pertumbuhan
ekonomi (PDRB).
a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Untuk mengcover
perubahan dan perkembangan struktur perekonomian yang terus begerak dari waktu
ke waktu, maka diperlukan adjusment terhadap harga dasar perhitungan PDRB.
Mulai Tahun 2004 berdasarkan rekomendasi PBB maka tahun dasar perhitungan PDRB
berubah dari tahun dasar 1993, menjadi tahun dasar 2000 (at constant price).
Perubahan tahun dasar ini sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia
yang sempat mengalami gangguan sejak terjadi krisis moneter tahun 1997 yang
lalu.
Adapun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten
OKU TIMUR selama kurun waktu 2000-2007 menurut harga berlaku selalu mengalami
peningkatan dari waktu ke waktu.
Tabel 8. Perkembangan Produk
Domestik Bruto berdasarkan harga berlaku dan harga konstan 2000 di Kabupaten
OKU TIMUR Tahun
2003 –
2007
Harga Berlaku (Rp.)
|
Harga konstan 2003 (Rp.)
|
|
2003
|
2.016.657
|
1.580.910
|
2004
|
2.267.701
|
1.666.184
|
2005
|
2.613.209
|
1.761.563
|
2006
|
3.063.108
|
1.875.941
|
2007
|
3.629.682
|
2.001.672
|
Pada Tahun 2003
PDRB Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 2.016.657 juta
sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp. 2.267.701 juta, tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 2.613.209
juta, tahun 2006 menjadi Rp. 3.063.108 juta dan selanjutnya tahun 2007 PDRB
Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga berlaku kembali mengalami peningkatan
menjadi Rp. 3.629.682 juta.
Gambar 6. Perkembangan PDRB Kabupaten OKU TIMUR Tahun 2000 –
2007
Dilihat
dari kontribusi masing-masing sektor ekonomi terlihat bahwa pada tahun 2007,
sektor pertanian masih menjadi sektor unggulan (leading sector) dalam pembentukan PDRB atas dasar harga berlaku di
Kabupaten OKU TIMUR dengan kontribusi 50,84%. Tiga sektor utama penyumbang PDRB
Kabupaten OKU TIMUR terbesar adalah Sektor Pertanian (50,84%), disusul Sektor
Perdagangan, Hotel dan Restauran (14,74%) dan Sektor Jasa (11,60%).
Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga konstant
selama kurun waktu 2000-2007 cenderung meningkat secara konstant dari tahun ke
tahun. Hal ini menandai bahwa kondisi perekonomian didaerah ini cukup kondusif
dan bergairah. Pada tahun 2007, PDRB Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga
konstant senilai Rp. 2.001.672 juta, meningkat dari tahun 2006 yang bernilai
Rp. 1.875.941 juta. Dilihat dari kontribusi masing-masing sektor (lapangan
usaha) tampak bahwa pada tahun 2007 sektor pertanian merupakan sektor unggulan
(leading sector) dalam pembentukan
PDRB Kabupaten OKU TIMUR, kondisi ini tidak berlaku apabila perhitungan PDRB
dilakukan atas dasar harga berlaku.
Ada tiga
sektor utama penyumbang PDRB Kabupaten OKU TIMUR atas dasar harga konstant
terbesar juga tidak berbeda dengan apabila dihitung atas dasar harga
berlaku yaitu sebagai berikut Sektor
Pertanian (51,13%), disusul Sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran (16,49%)
dan Sektor Jasa (9,95%).
b.
Pertumbuhan
Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah
satu ukuran dalam melihat kinerja ekonomi suatu daerah. Pertumbuhan tersebut
merupakan agregat dari pertumbuhan dari sektor ekonomi. Pertumbuhan yang
positif menunjukan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya apabila negatif
menunjukan terjadinya penurunan. Pertumbuhan ekonomi kabupaten ini pada tahun
2007 sebesar 6,70% meningkat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun
2006 sebesar 6,49%.
Gambar 7. Tingkat pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten OKU TIMUR Tahun 2003 – 2007
Dilihat menurut
lapangan usaha, seluruh sektor ekonomi di Kabupaten OKU TIMUR mengalami
pertumbuhan jika dibandingkan dengan tahun 2006. Tiga sektor yang mengalami
pertumbuhan terbesar adalah perdagangan, hotel dan restoran (9,73%) sektor
angkutan dan komunikasi (8,87%) dan sektor jasa-jasa (6,67%).
c.
Pendapatan
Perkapita
Indikator ekonomi makro
lainnya yang bermanfaat untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan suatu
daerah adalah pendapatan per kapita penduduk. Secara umum besaran pendapatan
per kapita di dapat dari pembagian besaran PDRB dengan jumlah penduduk
pertengahan tahun pada periode waktu tertentu. Sebagai indikator ekonomi makro,
pendapatan per kapita suatu wilayah dapat memberi informasi awal mengenai
tingkat kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan per kapita suatu
wilyah, maka tingkat kesejahteraan penduduk semakin tinggi.
Tabel 4
Perkembangan Pendapatan Perkapita Kabupaten OKU
TIMUR
(dalam juta rupiah)
No
|
Tahun
|
Harga Berlaku
|
Harga Konstan
|
1
|
2000
|
2,316
|
2,316
|
2
|
2001
|
2,597
|
2,312
|
3
|
2002
|
2,929
|
2,392
|
4
|
2003
|
3,141
|
2,450
|
5
|
2004
|
3,456
|
2,531
|
6
|
2005
|
3,924
|
2,608
|
7
|
2006
|
4,876
|
3,002
|
8
|
2007
|
6,426
|
3,543
|
Sumber : BPS Kab.
OKU TIMUR
Pendapatan per kapita
penduduk Kabupaten OKU TIMUR mengalami peningkatan secara konstan dan stabil
dari tahun ke tahun baik dihitung atas dasar harga berlaku maupun harga
konstan. Pada tahun 2007 ini pendapatan per kapita penduduk Kabupaten OKU TIMUR
sebesar Rp. 6.426.218 (atas dasar harga berlaku) atau sebesar Rp. 3.543.886
(atas dasar harga konstan).
KESIMPULAN
Secara teori, model
desentralisasi fiskal memiliki dua pendekatan berbeda: model desentralisasi
sisi penerimaaan melalui mekanisme dana perimbangan (revenue assigment) maupun
kepemilikan pendapatan asli daerah (tax assigment), dan model desentralisasi
sisi pengeluaran (expenditure assignment). Model pertama, desentralisasi di
sisi pengeluaran, dilakukan dengan cara meningkatkan kemampuan fiskal, melalui
alih sumber pembiayaan pusat ke daerah, dalam rangka membiayai fungsi/urusan
yang dilimpahkan. Sementara
model desentralisasi di sisi pengeluaran, dilakukan lewat pemberian kewenangan
kepada Pemda membelanjakan anggarannya menurut kebutuhan/prioritas daerah yang
bersangkutan. Dengan pilihan model tersebut, pokok soal bukan terutama seberapa
banyak dana yang ditransfer pusat tetapi seberapa besar diskresi bagi Pemda
untuk mengalokasikan dana yang ada.
Dari hasil pengolahan data yang ada
menunjukan bahwa adanya ketergantungan yang cukup besar terhadap pusat untuk
melaksanakan pembangunan. Derajat kemandirian Kabupaten OKU TIMUR menunjukkan bahwa daerah belum mampu membiayai
pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan
dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi
pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka
terlihat kinerja keuangan daerah masih rendah.
Secara umum, semakin tinggi kontribusi PAD dan semakin tinggi
kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja
keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan Kabupaten OKU TIMUR negatif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah Kabupaten OKU TIMUR dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi
daerah pada daerah belum maksimal dan sangat tergantu dengan
pusat.
Akan tetapi akibat dari adanya aktifitas pembangunan di
Kabupaten OKU Timur maka dapat diukur perubahan dan perkembangan struktur perekonomian
di Kabupaten OKU TIMUR. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten OKU
TIMUR selama kurun waktu 2000-2007 menurut harga berlaku maupun harga konstant
selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, berarti juga terjadi tingkat
pertumbuhan ekonomi yang positif.
SARAN
Kabupaten OKU TIMUR memiliki ketergantungan
yang tinggi pada pemerintah pusat, yang disebabkan oleh belum optimalnya
penerimaan dari pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu,
pemerintah Kabupaten OKU TIMUR perlu meningkatan
penerimaan Sumber daya dan penerimaan Kabupaten dengan meningkatkan
penerimaan dari perpajakan dan retribusi daerah, selain itu
perlu juga mengoptimalkan
kinerja dari BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) agar dapat lebih menyokong PAD
(Pendapatan Asli Daerah).
Walaupun PAD
yang terbatas dan juga tidak kaya dengan sumber daya alam. Yang sebagian besar penerimaan
berasal dari transfer pemerintah pusat. Namun keterbatasan anggaran tersebut, diharapkan
Pemerintah Kabupaten OKU TIMUR dapat menyediakan pelayanan publik yang baik dan
menjangkau masyarakat miskin, dengan berprinsip pada efisiensi anggaran
ditambah dengan berbagai kreativitas dan pelibatan masyarakat dalam berbagai
aktivitas dan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA