Kamis, 05 Desember 2013

ANALISIS KASUS UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL DARI SUDUT PANDANG EKONOMI POLITIK



Kesejahteraan bangsa yang diidamkan akan terwujud dengan meningkatkan kualitas hidup melalui pembangunan di segala bidang khususnya di bidang ekonomi. Pembangunan membutuhkan modal, ketrampilan dan teknologi. Idealnya, pemenuhan kebutuhan pembangunan ini dapat disediakan melalui sumber dalam negeri. Kenyataannya, akumulasi modal dalam negeri masih belum efektif dan efisien, tingkat tabungan masyarakat masih rendah, demikian pula ketrampilan serta penguasaan teknologi masih belum memadai untuk menunjang proses pembangunan yang diharapkan. Modal, berikut skill dan teknologi merupakan conditio sine quanon bagi proses pembangunan.
Dewasa ini hampir di semua negara, khususnya negara berkembang membutuhkan modal asing. Modal asing itu merupakan suatu hal yang semakin penting bagi pembangunan suatu negara. Sehingga kehadiran investor asing nampaknya tidak mungkin dihindari. Yang menjadi permasalahan bahwa kehadiran investor asing ini sangat dipengaruhi oleh kondisi internal suatu negara, seperti stabilitas ekonomi, politik negara, penegakan hukum.
Penanaman modal memberikan keuntungan kepada semua pihak, tidak hanya bagi investor saja, tetapi juga bagi perekonomian negara tempat modal itu ditanamkan serta bagi negara asal para investor. Pemerintah menetapkan bidang-bidang usaha yang memerlukan penanaman modal dengan berbagai peraturan. Selain itu, pemerintah juga menentukan besarnya modal dan perbandingan antara modal nasional dan modal asing. Hal ini dilakukan agar penanaman modal tersebut dapat diarahkan pada suatu tujuan yang hendak dicapai. Bukan haya itu seringkali suatu negara tidak dapat menentukan politik ekonominya secara bebas, karena adanya pengaruh serta campur tangan dari pemerintah asing.
Tahun 2007 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan UU Penanaman Modal menjadi Undang-Undang Penanaman Modal (UU PM). UU ini dibuat untuk menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970). Dalam UU ini, investasi sebagai penopang pembangunan dimaknai sebagai proses ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi semata.
Secara empirik semua hal di atas menggambarkan penjajahan asing dengan mengatasnamakan investasi. Bila kondisi demikian dibiarkan, Indonesia akan semakin berada dalam cengkeraman penjajahan ekonomi neoliberal.
UU Penanaman modal yang akan menggantikan UU No.1/1967 tentang Penanaman modal asing (PMA) dan Undang-Undang No.6/1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN) tersebut, sangat jelas bersifat ahistoris. Artinya, UU itu cenderung mengabaikan latar belakang Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah dijajah. Padahal, sebagai akibat dari penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami Indonesia, perekonomian Indonesia telanjur terjebak dalam sebuah struktur perekonomian yang berwatak kolonial.
Persoalan lainnya adalah dampak negatif dari penanaman modal, khususnya penanaman modal asing adalah :
(1)     Perusahaan multinasional berdampak negatif bagi perekonomian negara penerima;
(2)     Perusahaan multinasional melahirkan sengketa dengan negara penerima atau dengan penduduk asli miskin setempat, khususnya negara yang sedang berkembang;
(3)     Perusahaan multinasional dapat mengontrol atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal. Sebagai akibatnya, mereka dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi atau bahkan kebijakan politis dari negara penerima;
(4)     Perusahaan multinasional banyak dikecam telah mengembalikan keuntungan-keuntungan dari kegiatan bisnisnya ke negara tempat induknya berada;
(5)     Adanya tuduhan perusahaan multinasional yang kegiatan usahanya ternyata telah merusak lingkungan di sekitar lokasi usahanya, terutama negara-negara yang sedang berkembang;
(6)     Perusahaan multinasional dikritik telah merusak aspek-aspek positif dari penanaman modal di negara-negara berkembang.

Pandangan ini secara mendasar telah mengabaikan hal terpenting dalam ekonomi yakni aspek keadilan distribusi sehingga menciptakan jurang kesenjangan yang makin melebar. Inilah awal petaka bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas miskin karena tidak mampu mengakses sumber daya alam, kesehatan, pendidikan, serta layanan publik lainnya.
Sedangkan dari para pihak yang mendukung atas pemberlakuan regulasi baru penanaman modal ini atau atas keberadaan investor, terutama investor asing memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi pembangunan Indonesia. Mereka beralasan bahwa :
(1)     Masalah gaji. Perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi dibandingkan gaji rata-rata yang berlaku di Indonesia;
(2)     Perusahaan asing menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan Perusahaan domestik sejenis;
(3)     Perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang pendidikan;
(4)     Perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan perusahaan domestik.
Dampak pengesahan UU Penanaman Modal realisasi Investasi naik. Untuk PMA, sektor industri kimia dan farmasi berada diurutan pertama dengan jumlah investasi 1,495 miliar dolar AS. Inggris menempati urutan pertama realisasi investasi menurut negara asal sebesar 1,412 miliar dolar AS. Taiwan diurutan kedua dengan nilai investasi 396,4 juta dolar AS. Ada indikasi yang kuat dengan naiknya realisasi investasi bahwa dari bulan-ke bulan, dari tahun ke tahun akan banyak pihak asing menanamkan modal ke Indonesia kaya dengan sumber bisnis baik investasi bisnis maupu investasi bangunan.
Dalam telaah normatif ekonomi & politik, UU PM juga mengandung sejumlah persoalan mendasar yakni:
1.       Penyamaan investor dalam dan luar negeri di semua bidang usaha.
Dengan ketentuan ini, penanam modal asing mendapatkan pintu amat lebar untuk melakukan investasi di segala bidang di seluruh wilayah RI. Tugas penguasa atau pemerintah dalam memenuhi kebutuhan warganya jelas sekali tidak akan bisa diujudkan bila UU PM ini diterapkan. Dalam UU PM ini pemerintah harus memperlakukan secara sama rakyatnya sendiri dan investor asing. Tidak boleh ada yang diistimewakan.
2.        Tidak adanya pembedaan bidang usaha
UU PM memberikan ruang amat lebar bagi penanaman modal baik dalam negeri maupun asing di semua bidang. Sekalipun dinyatakan ada bidang yang tertutup, namun jumlahnya amat sedikit.
Secara empirik akan makin menjerumuskan Indonesia kepada penjajahan ekonomi oleh kapitalisme global. Sepanjang 2000 - 2005, stok modal asing meningkat hingga 3,5 kali lipat. Pemilik PMA tersebut sebagian besar adalah Singapura, Inggris, Jepang, Australia, Belanda, Korea selatan, Taiwan, Kanada, Amerika Serikat, Jerman, yang tersebar dalam 975 proyek. Tidak heran jika negara-negara tersebut banyak terkait dengan campur tangan seluruh kebijakan ekonomi, sosial , budaya dan hankam di negeri ini. Campur tangan mereka tentu tak lepas dari upaya mengamankan kepentingannya di Indonesia. Kondisi ini menyuratkan terjadinya pergeseran tanggung jawab negara digantikan perannya oleh korporasi.
Pendapat yang menyatakan bahwa UU PM ini diperlukan untuk memacu investasi asing karena Indonesia selama ini tidak diminati investasi adalah kabar menyesatkan. Pembuatan UU PM yang dianggap pemerintah sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan kemandirian ekonomi adalah tidak benar karena pemerintah tidak mencoba sungguh-sungguh menjawab permasalahan bertambahnya pengangguran. Pemerintah lebih berorientasi pada pertumbuhan dengan “asumsi” setiap satu persen pertumbuhan akan menyerap 300.000 tenaga kerja, namun “asumsi” pemerintah tersebut tidak mampu menyelesaikan bertambahnya pengangguran.
Pada faktanya swasta asing hanya memanfaatkan rendahnya upah buruh dan banyaknya insentif yang diberikan pemerintah antara lain pembebasan pajak dan kemudahan dalam investasi dalam pengelolaan sumber daya alam. UU PM malah mengalami Kegagalan berbagai instrumen perundangan, termasuk yang mengatur tentang permodalan asing dan undang-undang sektoral, khususnya sektor pengelolaan sumberdaya alam (UU Migas, UU Kelistrikan dan sebagainya) dapat dilihat dari berbagai indikator, seperti keberadaan jutaan rakyat yang berada di garis kemiskinan akibat ketidakadilan distribusi, jumlah konflik sumberdaya, dan/atau belum menikmati jasa pelayanan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar