Kamis, 05 Desember 2013

ANALISA EKONOMI DAN POLITIK PEMBANGUNAN



EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN DALAM BIDANG PERTANIAN DI INDONESIA (POLITIK BERAS)

Indonesia adalah warga dunia yang tak dapat menghindarkan diri dari pengaruh kapitalisme global. Karena itulah politik ekonomi yang dipakai di Indonesia diwarnai oleh struktur kapitalisme dunia, termasuk dalam pembangunan pertaniannya. Ekonomi politik pembangunan perberasan Indonesia berada pada posisi pinggiran dalam sistem kapitalisme dunia, karena Indonesia sangat menggantungkan pembangunan pertaniannya kepada beras dan lemahnya ekonomi pangan ini disebabkan sistem usahatani padi yang secara teknologi dan ekonomi kurang ekonomis.
Teori-teori pembangunan mulai berkembang setelah perang dunia kedua, bersamaan dengan negara Indonesia yang juga sedang mencari pola pembangunannya sendiri. Karena itulah, proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Indonesia juga dipengaruhi oleh proses tersebut. Selain itu, pembangunan Indonesia juga berada dalam pengaruh Amerika Serikat sebagai negara yang merasa sangat berkepentingan dengan pembangunan negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika.
Beras merupakan komoditas pangan yang memiliki kedudukan unik di Indonesia, karena tidak saja berdimensi ekonomi dan sosial, tetapi juga politik dan budaya. Begitu pentingnya permasalahan beras sehingga ekonomi Indonesia tergantung padanya, misalnya dari pengaruh psikologisnya terhadap inflasi. Hal ini terlihat dari berbagai kebijaksanaan pertanian yang didominasi dan bias ke beras.
Dalam hal hubungan dengan teori-teori pembangunan akan diperlihatkan ekonomi Indonesia dalam struktur ekonomi kapitalis dunia, melalui sosial ekonomi beras untuk analisis tingkat meso. Selanjutnya, untuk analisis tingkat mikro, akan dilihat pengaruh penetrasi kapitalisme pada masyarakat pedesaan didasarkan kepada dampak Revolusi Hijau yang merupakan program pembangunan pertanian utama di Indonesia.
Pembangunan pertanian Indonesia dapat dijelaskan secara agak memuaskan melalui analisis pelaksanaan dan dampak Revolusi Hijau walau lebih ditujukan kepada pertanian sawah.

KAPITALISME DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA

Dari sejarahnya kapitalisme lahir lebih kurang 3 abad sebelum teori-teori pembangunan muncul. Sehingga, tidak mengherankan jika kapitalisme sangat mewarnai teori-teori pembangunan.
Motivasi teori modernisasi untuk merubah cara produksi masyarakat berkembang sesungguhnya adalah usaha merubah cara produksi prakapitalis ke kapitalis, sebagaimana negara-negara maju sudah menerapkannya untuk ditiru. Selanjutnya dalam Teori Ketergantungan (Dependency Theory) yang bertolak dari analisa Marxis, dapat diakatakan hanyalah mengangkat kritik terhadap kapitalisme dari skala pabrik (majikan dan buruh) ke tingkat antar negara (pusat dan peri-peri), dengan analisis utama yang sama yaitu eksploitasi. Demikian halnya dengan Teori Sistem Dunia (World System Theory) yang didasari Teori Dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis dunia sebagai hanya satu sistem, yaitu sistem ekonomi kapitalis.

Teori Modernisasi

Semangat pembangunan dengan latar belakang Teori Modernisasi adalah ingin memodernisasikan negara berkembang agar negara-negara berkembang meniru negara maju dalam segala aspek, terutama tentu saja dalam mode of proction kapitalisnya. Jiwa modernisasi yang didasari oleh Revolusi Industri adalah mulainya manusia dianggap sebagai faktor produksi, sehingga terjadi penghisapan tenaga kerja manusia oleh manusia.
Secara ringkas dapat dikatakan, apa yang dimaksud dengan modern tersebut memiliki banyak kesamaan dengan paham kapitalisme. Yaitu misalnya teknologi maju yang efisien yang tentu saja untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Nilai-nilai ekonomis dan efisien yang ada dalam modernisasi adalah nilai-nilai kapitalisme juga. Intinya adalah, hanya dengan membentuk masyarakat kapitalis modern-lah negara-negara terbelakang bisa meraih kemajuan.
Teori utama yang dipakai dalam modernisasi adalah teori Rostow tentang tahap-tahap pertumbuhan ekonomi. Agar dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang otonom perlu melakukan mobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumberdaya alamnya. Investasi adalah suatu kemutlakan yang dapat diperoleh dari luar maupun dalam. Artinya, pendapat ini mengundang masuknya institusi permodalan kapitalisme dengan bunga yang tinggi sehingga akhirnya terjadi ketergantungan.

Teori Ketergantungan (Dependensi)

Asumsi dasar teori ketergantungan menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis.
Dos Santos menyatakan, bahwa ada tiga bentuk ketergantungan, yaitu: ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan, dan ketergantungan teknologi industri.
Indonesia telah mengalami kondisi seperti ini selama tiga abad lebih, yaitu ketika pemerintahan kolonial Belanda mengeruk hasil bumi, baik dengan program “Tanam Paksa” maupun pajak tanah.
Jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Pada sektor pertanian, hal ini tampak dari himbauan agar petani mengembangan agroindustri sehingga nilai tambah jatuh kepada para petani itu sendiri.
Ketergantungan teknologi industri adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri.
Indonesia sampai saat ini masih bergantung kepada teknologi dari negara-negara maju. Dalam bidang pertanian, lemahnya teknologi perbenihan dan sarana produksi (pestisida). Tidak bisa dipungkiri, Indonesia adalah negara periperi yang sangat tergantung kepada negara-negara maju. Sebuah ketergantungan yang multi dimensi secara ekonomi, teknologi, bahkan dalam cara berpikir.
Pada kasus permasalahan komoditas beras, bagaimana Indonesia menerapkan teori modernisasi didalamnya, bagaimana posisi ketergantungan juga terjadi, dan juga ikut dalam pasar global. Pasar global secara tak langsung adalah bukti bahwa dunia adalah satu sistem ekonomi kapitalis dunia.
Selanjutnya, untuk mempelajari pengaruh kapitalisme pada tingkat mikro, karena sifat pengaruhnya yang jauh dan mendalam, baik secara geografis maupun berbagai aspek kehidupan; akan dilihat pengaruhnya sampai ke tingkat desa, lapisan dalam masyarakat, dan bahkan individu dalam masyarakat desa.

EKONOMI POLITIK PERBERASAN DI INDONESIA

Bahwa kapitalisme sudah merambah Indonesia, tampaknya tidak perlu diperdebatkan lagi. Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari mainstream dunia terutama dari segi ekonominya yang sangat dijiwai oleh kapitalisme. Secara gamblang kita juga bisa melihat sistem pasar kita yang berstruktur longgar, bahkan ada beberapa komoditas yang memiliki struktur yang monoplistik, meskipun campur tangan pemerintah juga ada.
Beras dapat dianggap mewakili bentuk ekonomi Indonesia secara umum, karena pengaruhnya dalam bidang ekonomi, politik (harga diri bangsa), dan psikologis (misalnya inflasi karena psikologis harga beras). Namun, permasalahannya yang utama adalah usahatani padi berada dalam posisi lemah, karena teknologi rendah yang sulit ditingkatkan karena kepemilikan lahan yang sempit, modal, dan pendidikan, serta kondisi alamnya. Secara agronomis, usahatani padi relatif paling tidak efisien,karena secara teknologi, memang padi tidak pernah dapat diusahakan secara efisien sebagaimana skala besar-besaran pada usahatani gandum di negara-negara maju.
Secar empiris Indonesia tidak pernah dapat melepaskan diri dari persoalan beras, karena jumlah penduduk yang besar dan konsumsi yang semakin tinggi. Konsumsi tinggi ini tanpa sadar terdorong oleh usaha pemerintah meninggikan gengsi beras, walau kemudian dikoreksi dengan Program Diversifikasi Pangan dan Gizi. Tingginya gengsi konsumsi beras disebabkan oleh usaha pemerintah di awal Orde Baru yang merubah pola konsumsi asli penduduk, misalnya jagung di Madura, sagu di Maluku, dan talas di Irian Jaya.
Usahatani padi memiliki kelemahan-kelemahan sehingga kalahbersaing secara ekonomi. Hal ini terbukti dari tingginya konversi lahan pertanian untuk kebutuhan industri dan pemukiman.
Salah satu penyebab lemahnya daya saing padi adalah kebutuhan airnya yang lebih tinggi dibanding komoditas pangan manapun. untuk mendapatkan jumlah produksi yang sama, kebutuhan air untuk beras adalah empat kali lipat yang dibutuhkan oleh gandum. Kondisi ini semakin timpang bila dibandingkan nilai jual air per satuan antara kegunaan untuk pertanian dengan kegunaan untuk industri. Suatu penelitian di Bekasi mennemukan, air irigasi di hulu dan tengah telah dijual untuk industri, sehingga sawah hanya bisa ditanami sekali setahun. Hal ini membuktikan bahwa nilai tambah air untuk sawah lebih rendah dibandingkan untuk industri. Secara ekonomi perilaku ini sangat rasional meskipun merugikan pembangunan pertanian. Selain faktor di atas, beras juga menghadapi ketimpangan produksi antar daerah, antar lokasi, sementara permintaan beras juga tidak elastis. Walaupun pendapatan naik permintaan hanya naik sedikit, sehingga harga tidak naik. Itulah kenapa nilai tukar petani sawah tetap rendah sehingga pemupukan modal lambat, dan teknologi sulit ditingkatkan.
Dengan segala kelemahan ini tidak heran beras Indonesia kalah bersaing dengan beras dunia, dan akibatnya, karena sebagai komoditas politik, Indonesia juga menjadi lemah dihadapan negara-negara lain yang sudah surplus pangan. Hal ini terlihat dari ketergatungan terhadap impor beras pada tahuan 1970-an. Setelah revolusi hijau pun, pertanian masih tergantung setidaknya dari dua bentuk ketergantungannya dos Santos, yaitu ketergantungan teknologi dan modal. Ketergantungan teknologi khususnya terhadap teknologi kimiawi yang sampai saat ini masih diimpor. Bahkan ada yang mencurigasi, bahwa revolusi hijau terjadi melalui kolusi dengan perusahaan-perusahaan internasional obat-obatan pertanian. Ini menunjukkan relasi elit di peri-peri (cP) dengan negara pusat (cC) sebagaimana diterangkan di depan.
Dari uraian di atas, secara umum dapat dikatakan, karena beraslah, meskipun tidak semata-mata oleh beras, Indonesia banyak mengalami kelambatan dalam pembangunan, namun juga terpaksa menjadi negara pengutang. Secara politik Indonesia lemah, karena dengan menerapkan kebijakan swasembada on trend, artinya untuk kebutuhan pangan pokok saja Indonesia masih tergantung kepada luar sampai saat ini, dan belum mampu mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar