EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN DALAM BIDANG PERTANIAN
DI INDONESIA (POLITIK BERAS)
Indonesia
adalah warga dunia yang tak dapat menghindarkan diri dari pengaruh kapitalisme
global. Karena itulah politik ekonomi yang dipakai di Indonesia diwarnai oleh
struktur kapitalisme dunia, termasuk dalam pembangunan pertaniannya. Ekonomi
politik pembangunan perberasan Indonesia berada pada posisi pinggiran dalam
sistem kapitalisme dunia, karena Indonesia sangat menggantungkan pembangunan
pertaniannya kepada beras dan lemahnya ekonomi pangan ini disebabkan sistem
usahatani padi yang secara teknologi dan ekonomi kurang ekonomis.
Teori-teori
pembangunan mulai berkembang setelah perang dunia kedua, bersamaan dengan
negara Indonesia yang juga sedang mencari pola pembangunannya sendiri. Karena
itulah, proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Indonesia juga
dipengaruhi oleh proses tersebut. Selain itu, pembangunan Indonesia juga berada
dalam pengaruh Amerika Serikat sebagai negara yang merasa sangat berkepentingan
dengan pembangunan negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika.
Beras
merupakan komoditas pangan yang memiliki kedudukan unik di Indonesia, karena
tidak saja berdimensi ekonomi dan sosial, tetapi juga politik dan budaya. Begitu
pentingnya permasalahan beras sehingga ekonomi Indonesia tergantung padanya,
misalnya dari pengaruh psikologisnya terhadap inflasi. Hal ini terlihat dari
berbagai kebijaksanaan pertanian yang didominasi dan bias ke beras.
Dalam hal
hubungan dengan teori-teori pembangunan akan diperlihatkan ekonomi Indonesia
dalam struktur ekonomi kapitalis dunia, melalui sosial ekonomi beras untuk
analisis tingkat meso. Selanjutnya, untuk analisis tingkat mikro, akan dilihat
pengaruh penetrasi kapitalisme pada masyarakat pedesaan didasarkan kepada
dampak Revolusi Hijau yang merupakan program pembangunan pertanian utama di
Indonesia.
Pembangunan
pertanian Indonesia dapat dijelaskan secara agak memuaskan melalui analisis
pelaksanaan dan dampak Revolusi Hijau walau lebih ditujukan kepada pertanian
sawah.
KAPITALISME
DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA
Dari
sejarahnya kapitalisme lahir lebih kurang 3 abad sebelum teori-teori
pembangunan muncul. Sehingga, tidak mengherankan jika kapitalisme sangat mewarnai
teori-teori pembangunan.
Motivasi teori modernisasi untuk
merubah cara produksi masyarakat berkembang sesungguhnya adalah usaha merubah
cara produksi prakapitalis ke kapitalis, sebagaimana negara-negara maju sudah menerapkannya
untuk ditiru. Selanjutnya dalam Teori Ketergantungan (Dependency Theory) yang
bertolak dari analisa Marxis, dapat diakatakan hanyalah mengangkat kritik
terhadap kapitalisme dari skala pabrik (majikan dan buruh) ke tingkat antar
negara (pusat dan peri-peri), dengan analisis utama yang sama yaitu eksploitasi.
Demikian halnya dengan Teori Sistem Dunia (World System Theory) yang
didasari Teori Dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan
analisis dunia sebagai hanya satu sistem, yaitu sistem ekonomi kapitalis.
Teori
Modernisasi
Semangat
pembangunan dengan latar belakang Teori Modernisasi adalah ingin
memodernisasikan negara berkembang agar negara-negara berkembang meniru negara
maju dalam segala aspek, terutama tentu saja dalam mode of proction kapitalisnya.
Jiwa modernisasi yang didasari oleh Revolusi Industri adalah mulainya manusia
dianggap sebagai faktor produksi, sehingga terjadi penghisapan tenaga kerja
manusia oleh manusia.
Secara ringkas dapat dikatakan,
apa yang dimaksud dengan modern tersebut memiliki banyak kesamaan dengan paham
kapitalisme. Yaitu misalnya teknologi maju yang efisien yang tentu saja untuk
mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Nilai-nilai ekonomis dan efisien
yang ada dalam modernisasi adalah nilai-nilai kapitalisme juga. Intinya adalah,
hanya dengan membentuk masyarakat kapitalis modern-lah negara-negara terbelakang
bisa meraih kemajuan.
Teori utama
yang dipakai dalam modernisasi adalah teori Rostow tentang tahap-tahap
pertumbuhan ekonomi. Agar dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang otonom perlu
melakukan mobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumberdaya alamnya. Investasi
adalah suatu kemutlakan yang dapat diperoleh dari luar maupun dalam. Artinya, pendapat
ini mengundang masuknya institusi permodalan kapitalisme dengan bunga yang
tinggi sehingga akhirnya terjadi ketergantungan.
Teori
Ketergantungan (Dependensi)
Asumsi dasar
teori ketergantungan menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum
ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih
sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non
Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti
pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah
label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari
sistem kapitalis.
Dos Santos menyatakan, bahwa ada
tiga bentuk ketergantungan, yaitu: ketergantungan kolonial, ketergantungan
industri keuangan, dan ketergantungan teknologi industri.
Indonesia
telah mengalami kondisi seperti ini selama tiga abad lebih, yaitu ketika pemerintahan
kolonial Belanda mengeruk hasil bumi, baik dengan program “Tanam Paksa” maupun
pajak tanah.
Jenis
ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka ekonomi
negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian.
Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai
tambah yang diperoleh kecil. Pada sektor pertanian, hal ini tampak dari
himbauan agar petani mengembangan agroindustri sehingga nilai tambah jatuh
kepada para petani itu sendiri.
Ketergantungan
teknologi industri adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan,
eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya perkembangan pasar domestik negara
dunia ketiga itu sendiri.
Indonesia
sampai saat ini masih bergantung kepada teknologi dari negara-negara maju.
Dalam bidang pertanian, lemahnya teknologi perbenihan dan sarana produksi
(pestisida). Tidak bisa dipungkiri, Indonesia adalah negara periperi yang
sangat tergantung kepada negara-negara maju. Sebuah ketergantungan yang multi
dimensi secara ekonomi, teknologi, bahkan dalam cara berpikir.
Pada kasus
permasalahan komoditas beras, bagaimana Indonesia menerapkan teori modernisasi didalamnya,
bagaimana posisi ketergantungan juga terjadi, dan juga ikut dalam pasar global.
Pasar global secara tak langsung adalah bukti bahwa dunia adalah satu sistem
ekonomi kapitalis dunia.
Selanjutnya,
untuk mempelajari pengaruh kapitalisme pada tingkat mikro, karena sifat
pengaruhnya yang jauh dan mendalam, baik secara geografis maupun berbagai aspek
kehidupan; akan dilihat pengaruhnya sampai ke tingkat desa, lapisan dalam
masyarakat, dan bahkan individu dalam masyarakat desa.
EKONOMI
POLITIK PERBERASAN DI INDONESIA
Bahwa
kapitalisme sudah merambah Indonesia, tampaknya tidak perlu diperdebatkan lagi.
Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari mainstream dunia terutama dari
segi ekonominya yang sangat dijiwai oleh kapitalisme. Secara gamblang kita juga
bisa melihat sistem pasar kita yang berstruktur longgar, bahkan ada beberapa
komoditas yang memiliki struktur yang monoplistik, meskipun campur tangan
pemerintah juga ada.
Beras dapat
dianggap mewakili bentuk ekonomi Indonesia secara umum, karena pengaruhnya
dalam bidang ekonomi, politik (harga diri bangsa), dan psikologis (misalnya
inflasi karena psikologis harga beras). Namun, permasalahannya yang utama
adalah usahatani padi berada dalam posisi lemah, karena teknologi rendah yang
sulit ditingkatkan karena kepemilikan lahan yang sempit, modal, dan pendidikan,
serta kondisi alamnya. Secara agronomis, usahatani padi relatif paling tidak
efisien,karena secara teknologi, memang padi tidak pernah dapat diusahakan secara
efisien sebagaimana skala besar-besaran pada usahatani gandum di negara-negara
maju.
Secar empiris
Indonesia tidak pernah dapat melepaskan diri dari persoalan beras, karena
jumlah penduduk yang besar dan konsumsi yang semakin tinggi. Konsumsi tinggi
ini tanpa sadar terdorong oleh usaha pemerintah meninggikan gengsi beras, walau
kemudian dikoreksi dengan Program Diversifikasi Pangan dan Gizi. Tingginya
gengsi konsumsi beras disebabkan oleh usaha pemerintah di awal Orde Baru yang
merubah pola konsumsi asli penduduk, misalnya jagung di Madura, sagu di Maluku,
dan talas di Irian Jaya.
Usahatani padi
memiliki kelemahan-kelemahan sehingga kalahbersaing secara ekonomi. Hal ini
terbukti dari tingginya konversi lahan pertanian untuk kebutuhan industri dan
pemukiman.
Salah satu
penyebab lemahnya daya saing padi adalah kebutuhan airnya yang lebih tinggi dibanding
komoditas pangan manapun. untuk mendapatkan jumlah produksi yang sama,
kebutuhan air untuk beras adalah empat kali lipat yang dibutuhkan oleh gandum. Kondisi
ini semakin timpang bila dibandingkan nilai jual air per satuan antara kegunaan
untuk pertanian dengan kegunaan untuk industri. Suatu penelitian di Bekasi
mennemukan, air irigasi di hulu dan tengah telah dijual untuk industri,
sehingga sawah hanya bisa ditanami sekali setahun. Hal ini membuktikan bahwa
nilai tambah air untuk sawah lebih rendah dibandingkan untuk industri. Secara
ekonomi perilaku ini sangat rasional meskipun merugikan pembangunan pertanian. Selain
faktor di atas, beras juga menghadapi ketimpangan produksi antar daerah, antar
lokasi, sementara permintaan beras juga tidak elastis. Walaupun pendapatan naik
permintaan hanya naik sedikit, sehingga harga tidak naik. Itulah kenapa nilai
tukar petani sawah tetap rendah sehingga pemupukan modal lambat, dan teknologi
sulit ditingkatkan.
Dengan segala
kelemahan ini tidak heran beras Indonesia kalah bersaing dengan beras dunia,
dan akibatnya, karena sebagai komoditas politik, Indonesia juga menjadi lemah
dihadapan negara-negara lain yang sudah surplus pangan. Hal ini terlihat dari
ketergatungan terhadap impor beras pada tahuan 1970-an. Setelah revolusi hijau
pun, pertanian masih tergantung setidaknya dari dua bentuk ketergantungannya
dos Santos, yaitu ketergantungan teknologi dan modal. Ketergantungan teknologi
khususnya terhadap teknologi kimiawi yang sampai saat ini masih diimpor. Bahkan
ada yang mencurigasi, bahwa revolusi hijau terjadi melalui kolusi dengan perusahaan-perusahaan
internasional obat-obatan pertanian. Ini menunjukkan relasi elit di peri-peri
(cP) dengan negara pusat (cC) sebagaimana diterangkan di depan.
Dari uraian
di atas, secara umum dapat dikatakan, karena beraslah, meskipun tidak
semata-mata oleh beras, Indonesia banyak mengalami kelambatan dalam
pembangunan, namun juga terpaksa menjadi negara pengutang. Secara politik
Indonesia lemah, karena dengan menerapkan kebijakan swasembada on trend,
artinya untuk kebutuhan pangan pokok saja Indonesia masih tergantung kepada
luar sampai saat ini, dan belum mampu mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar